Eksistensi
kaum perempuan selalu menjadi perdebatan sengit di setiap sektor, baik
itu politik, ekonomi, budaya dan yang paling dominan di wilayah agama.
Perdebatan eksistensi itu berujung pada pertanyaan yang sama: Apakah
perempuan layak di akui keberadaannya sebagai manusia merdeka yang punya
hak atas kemerdekaannya, ataukah ia hanya sebatas pelengkap manusia,
yang dalam hal ini kaum laki-laki?
Perempuan selalu menjadi objek
tertuduh, yang selalu dipandang lemah dan tak berdaya. Padahal, Tuhan
menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai mahluk yang sama.
Perbedaan yang mencolok hanya sebatas pada unsur fisik dan biologis,
namun ketika berbicara peran, kekuatan, eksistensi dan kepeloporan,
antara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan dan hak yang sama.
Adalah
Mary of Nazaret, seorang anak perempuan Jachim si tukang kayu yang
melakukan perlawanan sengit terhadap tindakan pengucilan yang dilakukan
oleh kaum agamawan dan tindakan diskrimanatif yang dilakukan oleh
penguasa rezim Isrel saat itu. Dalam novel Marek Halter ini, Mary
merupakan tokoh representatif yang mewakili Ibunda Isa Al-masih sebagai
peletak perubahan spritual terbesar dikalangan umat Kristiani.
Al-kisah,
pada tahun ke-6 sebelum Masehi. Israel berada dibawah kepemimpinan Raja
Herodes yang dikenal sangat diktator, represif dan suka menindas
rakyatnya. Melalui tangan-tangan tentara kerajaan, Herodes menebar teror
di seluruh wilayah yang berada dalam kekuasaannya, meliputi kota
Nazareth, Damas, Tiberias, Roma, dan sekitarnya. Kebiasaan yang
dilakukan oleh tentara Herodes adalah merampok, memperkosa dan membakar
rumah penduduk. Pada saat itu, tak pernah ada kedamian, ketentraman, dan
kenyamanan yang dirasakan oleh masyarakat.
Setiap penduduk wajib
membayar upeti kepada petugas pajak pemerintah. Baik dengan gandum,
uang, maupun barang. Jika ada yang menolak, ia akan diseret oleh tentara
dan disalib sampai mati karena kelaparan, dahaga, kedinginan, dan
dijemur terus menerus. Penderitaan ini bisa berlangsung sampai
berhari-hari.
Pada saat itu, sebenarnya rakyat ingin melawan atas
kediktatoran Raja Herodes, namun mereka bingung dan tak tahu mau mulai
dari mana. Perasaan mereka selalu berkecamuk, antara melawan dan
ketakutan. Ada sebagian yang melawan, tapi berakhir dengan kematian.
Tidak melawanpun pada akhirnya akan menuju kematian dengan disiksa
secara mental dan fisik. Hingga pada akhirnya, datanglah si pelopor
pemberontakan Mary of Nazaret yang membuka pintu keyakinan bagi penduduk
sekitar, bahwa sekuat-kuatnya sang diktator pasti bisa dilawan dan
dirobohkan.
Mary tergerak hatinya untuk melakukan pemberontakan
karena dia ingin membebaskan ayahnya dari siksaan salib. Selain itu, dia
juga sudah tidak kuat melihat penindasan yang sudah puluhan tahun
menyengsarakan rakyat. Saat itu, Ayah Mary disiksa akibat keberaniannya
membela nenek tua yang di siksa oleh tentara Raja Herodes karena tidak
mau membayar pajak. Akibat pembelaanya, Jachim di tangkap dan di salib.
Penduduk sekitar sangat meragukan dan bahkan ada sebagaian yang melarang
tindakan Mary untuk membebaskan ayahnya. Selain takut sia-sia,
masyarakat mempunyai keyakinan tidak pantas seorang perempuan berbuat
demikian, tugas perempuan sudah di takdirkan dengan hal yang biasa,
seperti memasak, menjaga rumah dan keluarga serta tidak boleh
mengungguli kaum laki-laki dalam segala hal. Para Rabi juga melarang
tindakannya dan memeinta Mary bersikap biasa layaknya perempuan yang
lain, menunggu di rumah dan berdo’a.
Dalam melakukan
konsolidasipun Mary menemukan rintangan yang tidak gampang. Dia harus
meyakinkan orang-orang yang diajak untuk membebaskan ayahnya, termasuk
kepada Brabbas, si penyapun. Keberanian Brabbas melawan tentara Herodes
sudah tersiar di seluruh pelosok, sehingga tepat jika Mary mengajak
Brabbas untuk melakukan design gerakan. Tapi ternyata, tak mudah
meyakinkan Brabbas. Dengan optimisme yang kuat, Mary berhasil meyakinkan
Brabbas dengan ungkapan sederhana “ Sayang memang, jika harus mati
bersama para tahanan itu. Paling tidak, aku tidak berpangku tangan
melihat ketidakadilan"
Akhirnya, kepeloporan Mary terbukti benar
dan dapat membebaskan Ayahnya dari hukuman salib. Itulah Mary, kendati
banyak orang meremehkannya, dia tetap memiliki keinginan yang gigih.
Selain itu, Mary juga tidak gegabah. Dia memiliki pemikiran yang tenang.
Meski, kadang-kadang cepat naik darah, apalagi kalau berurusan dengan
ketidakadilan.
Akibat tindakan yang dilakukan Mary bersama Brabbas
dan pejuang lainnya, Raja Herodes sangat murka dan memerintahkan
seluruh tentara pemerintah untuk mencari para pemberontak di seluruh
lapisan kota dan pelosok desa. Setiap rumah penduduk diperiksa dan di
siksa penghuninya bila tidak memberitahukan keberadaaan Jachim, Marry
dan Brabbas. Dan akhirnya, berita itu terdengar oleh Mary.
Disisi
lain, seisi istana sedang katakutan. Herodes takut akan diracun sehingga
ia membunuh dan memenjarakan orang yang dicurigainya, termasuk
keluarganya sendiri. Disaat pemerintahan bergejolak dan penindasan
terhadap rakyat semakin gencar, Mary, Jachim dan Brabbas bersepakat
sepakat untuk mengundang seluruh Rabi yang ada di setiap kota untuk
menyusun strategi melawan pemerintahan Herodes.
Rabi dianggap
sebagai orang-orang bijak untuk membincangkan masalah ini. Tapi
ternyata, asumsi itu tidaklah benar. Perbincangan yang di dominasi oleh
kaum laki-lai itu tidak menghasilkan apa-apa, malah sebaliknya hanya
menimbulkan perdebatan sengit yang keluar dari substansi perkumpulan
itu. Lag-lagi, disaat seperti itu, Mary membuat banyak orang terkejut.
Dengan kecerdasan dan ketangkasannya, dia mampu menyuarakan kelemahan
para Rabi saat itu. Yakni, kebanyakan bicara dan merasa paling pintar,
sehingga setiap musyawarah tidak ada hasilnya. Karena masing-masing
pihak menganggap pendapatnya yang paling baik dan benar.
Ending
novel ini adalah, Mary melahirkan seorang anak tanpa proses persetubuhan
dengan laki-laki, dan kemudian anak itu dikenal dengan nama Yesus (sang
juru penyelamat). Yesus membawa obor perubahan yang dimanifestasikan
dalam dakwahnya. Banyak pesan penting yang dapat diambil dari novel
Marek Halter ini, baik dalam lingkup sosial, keagamaan. Dan poin yang
paling penting menegaskan bahwa kepeloporan seorang perempuan dalam
proses revolusi di sebuah negara sangat menentukan, sehingga kaum
perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata.
*)Romel Masykuri, Peneliti Muda Renaisant Institute Yogyakarta
Sumber : Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar