5 Posting Terbaru

Jumat, 11 Mei 2012

Mary of Nazareth, Perempuan Revolusioner



Eksistensi  kaum perempuan selalu menjadi perdebatan sengit di setiap sektor, baik itu politik, ekonomi, budaya dan yang paling dominan di wilayah agama. Perdebatan eksistensi itu berujung pada pertanyaan yang sama: Apakah perempuan layak di akui keberadaannya sebagai manusia merdeka yang punya hak atas kemerdekaannya, ataukah ia hanya sebatas pelengkap manusia, yang dalam hal ini kaum laki-laki?


Perempuan selalu menjadi objek tertuduh, yang selalu dipandang lemah dan tak berdaya. Padahal, Tuhan menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) sebagai mahluk yang sama. Perbedaan yang mencolok hanya sebatas pada unsur fisik dan biologis, namun ketika berbicara peran, kekuatan, eksistensi dan kepeloporan, antara laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan dan hak yang sama.

Adalah Mary of Nazaret, seorang anak perempuan Jachim si tukang kayu yang melakukan perlawanan sengit terhadap tindakan pengucilan yang dilakukan oleh kaum agamawan dan tindakan diskrimanatif yang dilakukan oleh penguasa rezim Isrel saat itu. Dalam novel Marek Halter ini, Mary merupakan tokoh representatif yang mewakili Ibunda Isa Al-masih sebagai peletak perubahan spritual terbesar dikalangan umat Kristiani.

Al-kisah, pada tahun ke-6 sebelum Masehi. Israel berada dibawah kepemimpinan Raja Herodes yang dikenal sangat diktator, represif dan suka menindas rakyatnya. Melalui tangan-tangan tentara kerajaan, Herodes menebar teror di seluruh wilayah yang berada dalam kekuasaannya, meliputi kota Nazareth, Damas, Tiberias, Roma, dan sekitarnya. Kebiasaan yang dilakukan oleh tentara Herodes adalah merampok, memperkosa dan membakar rumah penduduk. Pada saat itu, tak pernah ada kedamian, ketentraman, dan kenyamanan yang dirasakan oleh masyarakat.

Setiap penduduk wajib membayar upeti kepada petugas pajak pemerintah. Baik dengan gandum, uang, maupun barang. Jika ada yang menolak, ia akan diseret oleh tentara dan disalib sampai mati karena kelaparan, dahaga, kedinginan, dan dijemur terus menerus. Penderitaan ini bisa berlangsung sampai berhari-hari.

Pada saat itu, sebenarnya rakyat ingin melawan atas kediktatoran Raja Herodes, namun mereka bingung dan tak tahu mau mulai dari mana. Perasaan mereka selalu berkecamuk, antara melawan dan ketakutan. Ada sebagian yang melawan, tapi berakhir dengan kematian. Tidak melawanpun pada akhirnya akan menuju kematian dengan disiksa secara mental dan fisik. Hingga pada akhirnya, datanglah si pelopor pemberontakan Mary of Nazaret yang membuka pintu keyakinan bagi penduduk sekitar, bahwa sekuat-kuatnya sang diktator pasti bisa dilawan dan dirobohkan.

Mary tergerak hatinya untuk melakukan pemberontakan karena dia ingin membebaskan ayahnya dari siksaan salib. Selain itu, dia juga sudah tidak kuat melihat penindasan yang sudah puluhan tahun menyengsarakan rakyat. Saat itu, Ayah Mary disiksa akibat keberaniannya membela nenek tua yang di siksa oleh tentara Raja Herodes karena tidak mau membayar pajak. Akibat pembelaanya, Jachim di tangkap dan di salib. 

Penduduk sekitar sangat meragukan dan bahkan ada sebagaian yang melarang tindakan Mary untuk membebaskan ayahnya. Selain takut sia-sia, masyarakat mempunyai keyakinan tidak pantas seorang perempuan berbuat demikian, tugas perempuan sudah di takdirkan dengan hal yang biasa, seperti memasak, menjaga rumah dan keluarga serta tidak boleh mengungguli kaum laki-laki dalam segala hal. Para Rabi juga melarang tindakannya dan memeinta Mary bersikap biasa layaknya perempuan yang lain, menunggu di rumah dan berdo’a.

Dalam melakukan konsolidasipun Mary menemukan rintangan yang tidak gampang. Dia harus meyakinkan orang-orang yang diajak untuk membebaskan ayahnya, termasuk kepada Brabbas, si penyapun. Keberanian Brabbas melawan tentara Herodes sudah tersiar di seluruh pelosok, sehingga tepat jika Mary mengajak Brabbas untuk melakukan design gerakan. Tapi ternyata, tak mudah meyakinkan Brabbas. Dengan optimisme yang kuat, Mary berhasil meyakinkan Brabbas dengan ungkapan sederhana “ Sayang memang, jika harus mati bersama para tahanan itu. Paling tidak, aku tidak berpangku tangan melihat ketidakadilan"

Akhirnya, kepeloporan Mary terbukti benar dan dapat membebaskan Ayahnya dari hukuman salib. Itulah Mary, kendati banyak orang meremehkannya, dia tetap memiliki keinginan yang gigih. Selain itu, Mary juga tidak gegabah. Dia memiliki pemikiran yang tenang. Meski, kadang-kadang cepat naik darah, apalagi kalau berurusan dengan ketidakadilan.
Akibat tindakan yang dilakukan Mary bersama Brabbas dan pejuang lainnya, Raja Herodes sangat murka dan memerintahkan seluruh tentara pemerintah untuk mencari para pemberontak di seluruh lapisan kota dan pelosok desa. Setiap rumah penduduk diperiksa dan di siksa penghuninya bila tidak memberitahukan keberadaaan Jachim, Marry dan Brabbas. Dan akhirnya, berita itu terdengar oleh Mary.

Disisi lain, seisi istana sedang katakutan. Herodes takut akan diracun sehingga ia membunuh dan memenjarakan orang yang dicurigainya, termasuk keluarganya sendiri. Disaat pemerintahan bergejolak dan penindasan terhadap rakyat semakin gencar, Mary, Jachim dan Brabbas bersepakat sepakat untuk mengundang seluruh Rabi yang ada di setiap kota untuk menyusun strategi melawan pemerintahan Herodes.

Rabi dianggap sebagai orang-orang bijak untuk membincangkan masalah ini. Tapi ternyata, asumsi itu tidaklah benar. Perbincangan yang di dominasi oleh kaum laki-lai itu tidak menghasilkan apa-apa, malah sebaliknya hanya menimbulkan perdebatan sengit yang keluar dari substansi perkumpulan itu. Lag-lagi, disaat seperti itu, Mary membuat banyak orang terkejut. Dengan kecerdasan dan ketangkasannya, dia mampu menyuarakan kelemahan para Rabi saat itu. Yakni, kebanyakan bicara dan merasa paling pintar, sehingga setiap musyawarah tidak ada hasilnya. Karena masing-masing pihak menganggap pendapatnya yang paling baik dan benar.

Ending novel ini adalah, Mary melahirkan seorang anak tanpa proses persetubuhan dengan laki-laki, dan kemudian anak itu dikenal dengan nama Yesus (sang juru penyelamat). Yesus membawa obor perubahan yang dimanifestasikan dalam dakwahnya. Banyak pesan penting yang dapat diambil dari novel Marek Halter ini, baik dalam lingkup sosial, keagamaan. Dan poin yang paling penting menegaskan bahwa kepeloporan seorang perempuan dalam proses revolusi di sebuah negara sangat menentukan, sehingga kaum perempuan tidak bisa dipandang sebelah mata.

*)Romel Masykuri, Peneliti Muda Renaisant Institute Yogyakarta 


Sumber :  Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topik Populer Bulan ini