Tiga ahli geologi dari Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral melakukan pengamatan di sekitar Patahan/sesar Lembang di Kampung Muril Rahayu, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Bandung Barat. Pikiran Rakyat Online
TEMPO Interaktif, - Eko Yulianto terus mendengarkan omongan guru geografi di sebuah sekolah menengah pertama yang berlokasi di kawasan Langensari, Kecamatan Lembang, Bandung, tentang letak sesar Lembang. "Sesar Lembang letaknya jauh dari sini, di selatan Bandung," kata sang guru.
Lantas dia menanyakan hal serupa kepada murid dan guru sekolah dasar di Langensari. Jawabannya seragam: tidak tahu sesar Lembang atau sesar itu letaknya di Pasar Lembang.
Eko, yang menjadi peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), menceritakan pengalamannya itu kepada peserta lokakarya tentang bencana kegempaan dan gunung berapi. Lokakarya ini diselenggarakan LIPI dan Japan International Cooperation Agency (JICA) di Jakarta pada Jumat, 28 Oktober 2011.
Peneliti LIPI yang empat tahun terakhir meneliti sesar atau patahan Lembang itu miris melihat minimnya pengetahuan masyarakat. Padahal, kata Eko--doktor lulusan Universitas Hokkaido--sekitar 50 meter dari SD dan SMP di Langensari tersebut, terdapat bukit yang menandakan keberadaan sesar Lembang. Tumbukan antarlempeng atau aktifnya sesar dapat menjadi penyebab gempa besar.
Pada 28 Juli 1976, sesar di bawah daerah Thangsan, Cina, aktif. Terjadi gempa yang menewaskan 240 ribu jiwa. Gempa di Iran pada 1990 juga terjadi akibat pergeseran sesar yang menelan 40 ribu jiwa. Sesar juga memicu gempa di Armenia pada 1998 dan menewaskan 25 ribu jiwa.
Gempa Yogyakarta pada 27 Mei 2006, yang episentrumnya di Pantai Selatan, mengaktifkan sesar Opak dan sejumlah sesar kecil lainnya. Rumah dan bangunan lain hancur di sepanjang sesar Opak yang membentang dari Kabupaten Bantul di Yogyakarta hingga kawasan Candi Prambanan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Lebih dari 5.800 warga yang tinggal di perkampungan padat penduduk di Bantul dan Klaten tewas akibat gempa berkekuatan 6,2 magnitude moment (Mw). Pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung, Irwan Meilano, mencatat gempa ini menyebabkan pergeseran sesar Opak sepanjang 60 sentimeter.
Apakah sesar Lembang--yang panjangnya 22 kilometer dari Cisarua di barat hingga Gunung Palasari di timur--aktif? Apakah ada konektivitasnya dengan sesar Cimandiri, yang berada di selatan, dan sesar Baribis di bagian barat? "Sesar Lembang bergerak dengan kecepatan 2-4 milimeter per tahun," kata Irwan, doktor lulusan Universitas Nagoya, dalam presentasinya pada Lokakarya LIPI-JICA, Jumat pekan lalu.
Irwan dan peneliti dari Jepang menggunakan teknologi global positioning system untuk memetakan deformasi di Jawa Barat dan Aceh. Kerja sama ilmuwan Indonesia dengan Jepang ini juga mencatat laju geser sesar Cimandiri sepanjang 4-6 milimeter tiap tahun. Sesar Cimandiri membentang dari Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi, terus mengikuti Sungai Cimandiri ke arah timur laut sampai Lembang.
Riset Irwan dan kawan-kawan ini didukung penelitian sejarah gempa purba oleh Eko. Dia melakukan pengeboran di Pasir Sereh, Cihideung, untuk meneliti endapan sag-pond. Dari temuannya, Eko menemukan, sekitar 2000 tahun silam, sesar Lembang menyebabkan gempa berkekuatan 6,8 Mw. Gempa dengan kekuatan 6,6 Mw terjadi lagi pada 500 tahun lampau.
"Jika pernah terjadi gempa, akan berulang," kata Eko, mengutip teori gempa. Jika demikian, apakah pengulangan gempa di sesar ini sekitar 1.500 tahun? Andai kata demikian, berarti sesar ini akan bergeser lagi pada 2000-an Masehi. Eko buru-buru menepisnya. Menurut dia, kita perlu meneliti sejarah gempa sebelum 2000 tahun silam. Selain itu, diperlukan alat lebih banyak untuk akurasi data.
Gempa berkekuatan 6,8 dan 6,6 Mw yang pernah terjadi di Lembang bisa dibilang besar. Seukuran gempa Yogyakarta 2006 dan gempa Liwa di Kabupaten Lampung Barat pada 15 Februari 1994. Wakil Ketua LIPI Herry Harjono, yang pernah meneliti gempa Liwa, menggambarkan bahwa kerusakan akibat gempa karena dipicu oleh aktifnya sesar Semangko. "Hampir semua bangunan permanen di Liwa rata dengan tanah," kata Herry, yang menjadi koordinator penelitian kegempaan dan gunung api antara LIPI dan JICA.
Ancaman kerusakan di Lembang juga tinggi. Menurut Eko, kawasan cekungan Bandung terbentuk dari pengendapan danau purba. Tanahnya berusia muda dan lunak sehingga rawan bagi bangunan yang berada di atasnya. Hal itu terbukti dari gempa Cisarua (ujung barat sesar Lembang) yang terjadi pada 28 Agustus lalu. Ada 103 rumah yang retak-retak hanya dengan gempa berkekuatan 3,3 skala Richter selama 3 detik.
Eko, yang meninjau lokasi gempa, menemukan banyak rumah dibangun dengan dinding batako. "Rumah-rumah dibangun tanpa tiang-tiang besi beton dengan kualitas adukan atau semen yang rendah," kata Budi Brahmantyo, dosen ITB dan koordinator kelompok riset cekungan Bandung.
Herry berharap pemerintah daerah secepatnya melakukan sosialisasi dan membuat kebijakan. "Untuk mengurangi risiko bencana," katanya. Pada 16 November nanti, Eko dan koleganya bakal melakukan sosialisasi kepada pejabat di Kabupaten Bandung Barat. Mudah-mudahan mereka paham bahwa monster yang mengerikan ada di wilayahnya dan harus dari sekarang bersiap siaga.(UNTUNG WIDYANTO)