Menarik menyimak buku ‘Atlantis: The Lost Continent Finally Found’ (1997), karya Prof Arysio Satos. Indonesia disebut pusat peradaban. Bagaimana kondisinya sekarang?
“Setelah mempelajari masalah itu untuk waktu yang sangat lama, kami mampu menentukan lokasi dan mengidentifikasi pilar Timur tersebut berada di Indonesia. Tepatnya di antara Selat Sunda yang memisahkan Jawa dan Sumatra,” tulis Santos dalam bukunya.
Pandangan Santos dalam buku itu, menunjukkan bahwa Indonesia adalah pewaris utama peradaban besar dan dasar bagi peradaban besar dunia lainnya.
Sesungguhnya, buku ini melanjutkan tesis Plato dalam buku Timaeus dan Critia, seorang filsuf Yunani, yang menyebut bahwa Atlantis adalah induk segala peradaban. Lewat tesis ini, Santos kemudian menemukan bahwa jauh di bawah perairan Samudra Indo-Pasifik, terdapat sisa-sisa pegunungan sangat besar dari benua yang hilang.
Dari sisa-sisa itu ditemukan bahwa Indonesia adalah tempat di mana “pulau rempah-rempah” (Moluccas atau Maluku) yang menakjubkan berada. Pulau di kawasan itu membuat para petualang dan penjelajah mengalami ‘demam emas’ karena membayangkan keuntungan luar biasa yang bisa mereka dapatkan di sana.
Temuan Santos juga lebih mencengangkan. Menurutnya, riset antropologi menyebutkan bahwa, diketahui bahwa orang Hindu sebenarnya berasal dari Indonesia. Mereka pindah ke India ketika rumah asli mereka tenggelam karena bencana ledakan gunung berapi.
Bahkan, ungkap Santos dalam bukunya itu, dapat dipastikan bahwa penggunaan simbolisme salib untuk tujuan religius berasal dari masa yang jauh sebelum kedatangan agama Kristen.
Fakta-fakta bahwa Indonesia adalah warisan peradaban Atlantis makin jelas karena Garis Waktu Internasional (GWI) yang sempurna ini di tempatkan di Indonesia (Lanka) menjadikan tempat ini sebagai lokasi sesungguhnya dari Ibu kota kekaisaran Atlantis yang mendunia.
Terlebih jika melihat warisan zaman ‘sisa’ seperti temuan manusia purba Homo Wajakensis, Candi Borobudur dan Prambanan, serta kerajaan Majapahit dan Sriwijaya.
Mau kembali menjadi peradaban besar? Orang bijak berkata, “waktu adalah sungai, buku adalah perahu dan kata-kata adalah senjata.” Dalam realitas, hampir semua peradaban besar berepistema sama: penghormatan pada waktu-buku-kata. Barangkali, dan ini sayangnya, bangsa Indonesia belum serius menyadarinya.
Banyak orang terbenam oleh kebutuhan sehari-hari, hedonisme dan konsumerisme. Semua disibukkan oleh hal-hal kecil dan melupakan hal-hal besar. “Kita disibukkan oleh ‘sinetron politik’ berjudul Century, kerbau, bangsat dan cicak-buaya sebagai opera sabun para elit korup tanpa malu. Kembali bekerja dan tinggalkan keluh kesah.,” kata M Yudhie Haryono, Direktur Nusantara Centre, Sabtu.
Padahal, katanya, Indonesia mewarisi peradaban Atlantis yang mengagumkan. Lantas, bagaimana dan hendak kemana dengan ke-Indonesiaan sekarang? Berpikir, belajar, berkarya dan bekerja, merupakan sebagian jawaban yang dibutuhkan bukan?
Sumber : http://beritakorslet.wordpress.com/2010/02/07/peneliti-kemana-arah-ri-sebagai-pewaris-peradaban-atlantis/