5 Posting Terbaru

Kamis, 17 Mei 2012

Pemerintah Kerajaan Belanda Ternyata Sempat Memberikan Lambang Yang Salah Kepada Kota Bandung Tempo Doeloe

Bandung – Mungkin sebagian besar dari warga Kota Bandung ada yang belum pernah melihat bahkan tidak mengenal sama sekali gambar dari sebuah lambang kerajaan di atas ini sebelumnya, sehingga akan terlihat sangat asing untuk pertama kali melihatnya.

  
Dua ekor singa memegang tameng yang bermahkota merupakan sebuah lambang kerajaan yang biasanya dipakai oleh kerajaan-kerajaan di Eropa, tapi jangan salah dulu lambang diatas merupakan lambang kota Bandung pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Lambang diatas memang diberikan oleh kerajaan Belanda untuk kotamadya Bandung pada masa itu atau dalam bahasa Belanda disebut Gemeente Bandoeng.

    Menurut sejarah, Tatar Bandung terbentuk karena menyusutnya danau Bandung sekitar 3000 tahun yang lalu. Danau ini terbentuk dari sebuah muntahan erupsi besar Gunung Tangkuban Parahu yang merupakan anak dari Gunung Sunda. Akibat danau itu surut, munculah dataran tinggi Bandung. Ketika sungai Citarum tersumbat muntahan Gunung Tangkuban Parahu, airnya mengalir mencari jalan keluar menembus bukit-bukit Rajamandala dan melewati terowongan alam Sanghiang Tikoro. Makanya, Bandung menjadi dataran subur di ketinggian 725 mdpl.

Padahal, waktu danau Bandung masing ngemplang, dananunya membentang dari Cicalengka di timur sampai Padalarang di barat. Dari bukit Dago di utara samapai batas soreang – Ciwidey di selatan.

    Bisa dibayangkan, di Alun-alun Bandung saat itu kedalaman air mencapai 30 meter.

Sejak dayeuh Bandung ditetapkan menjadi Gementee oleh Jenderal J.V. Van Heutz melalui ordonasi 21 Februari 1906. Legenda Sanghiang Tikoro dan Sangkuriang menjadi tema khas dari Lambang Gementee Bandung. Bahkan sejak itu pula tak pernah ada sebuah lambang apapun tanpa persetujuan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Seperti yang ditetapkan dalam aturan pasal 1 ayat 1 ordonasi 7 September 1928. Termasuk sehelai pita yang menghiasi perisai Bandung kala itu dan bertuliskan motto dengan bahasa latin “Ex Undis Sol”.

    Motto ini merupakan terjemahan dari bahasa Belanda Uit de Golven de Zon yang berarti “Matahari Muncul di atas Gelombang”.

Nah, lalu apa hubungannya “Matahari Muncul di atas Gelombang” dengan kisah pasang surut Danau Bandung ?

    Persoalan mendasar dari kesalahan itu sebenarnya bukan dari tidak adanya hubungan nama dengan sejarah. Seperti juga motto “Bandung Berhiber”, “Bandung Atlas” atau Bandung Heurin ku Tangtung, dll. Tersirat muatan histori dan potensi sosio-ekonomi pada motto tersebut. Tetapi, kata sahibul sejarah, kesalahan nama yang kemudian menjadi motto Bandoeng Tempo Doeloe itu karena Walikota pada masa itu “koppig” alias bedegong, isin mundur karena gengsi. Karena ia tetap ingin mempertahankan semboyan “Ex Undis Sol”. Padahal, meskipun dari segi hubung-hubungan tadi boleh-boleh saja, tapi justru namanya yang ternyata salah seperti apa yang dikatakan oleh Meneer J.E. Jasper dalam sebuah artikel di koran Java Bode 1906-1931.

Motto Gementee Bandoeng itu sebenarnya sangat tidak ingin terlepas dari sejarah danau Bandung. Ya, semacam motto yang mungkin terdengar seperti ini, “Lahan Kokoh Muncul dari Gelombang”. Lahan kokoh atau lahan padat yang dalam bahasa latin disebut “Solum” atau dalam bahasa Inggris “Solid Soil”, sedangkan kata latin dari muncul adalah “Ex” dan gelombang dalam bahasa latin adalah “Undis”. Jadi motto yang benar adalah

    “Ex Undis Solum” bukan “Ex Undis Sol”

Seperti yang tercantum dalam lambang Gementee Bandoeng tempo dulu. Sebab, kata latin “Sol” berarti “Matahari” seperti Solar atau Soleil dalam bahasa Prancis.

Bayangkan, sampai tahun 1952, kota Bandung ternyata memiliki dan menggunakan semboyan yang mempunyai arti yang salah.



Sumber : http://bandoengers.blogspot.com/2010/02/ex-undis-sol.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topik Populer Bulan ini