Ada begitu banyak pekerjaan. Banyak juga jenis pekerjaan yang tidak biasa, tidak diinginkan, tapi harus dilakukan demi begitu banyak kepentingan dan hal-hal berguna yang melekat di dalamnya. Antara lain adalah pekerjaan mendengarkan percakapan orang yang sedang dalam situasi genting, menjelang kecelakaan atau bahkan kematian. Itulah pekerjaan Dyah Jatiningrum sekarang.
Sehari-hari, perempuan yang akrab dipanggil Ajenk (dan begitu cara menuliskannya) ini berjibaku di sebuah ruangan dengan kode-kode penerbangan, suara percakapan pilot dan kopilot, rekaman data teknis penerbangan, dan membuat analisis dari semua itu.
Ajenk adalah satu dari empat ahli pembaca kotak hitam pesawat terbang (flight recorders specialist) yang dimiliki Indonesia. Ia juga satu-satunya perempuan dengan kualifikasi tersebut yang bekerja untuk unit yang berada dalam naungan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Perempuan kelahiran Madiun, 3 September 1979, ini menyukai pesawat sejak duduk di bangku sekolah dasar. "Waktu itu baca di majalah Bobo, ada ulasan mengenai pesawat Concorde, seneng banget ngeliat-nya," katanya. Dari kegemaran itu, bersama bertambahnya usia, Ajenk mulai bercita-cita menjadi pilot dan kemudian astronot.
Menyadari bahwa ia berkacamata dan tinggi badannya tidak memenuhi syarat untuk menjadi pilot, Ajenk tak putus cinta dengan dunia penerbangan. Lulus SMA, ia masuk Jurusan Teknik Penerbangan Institut Tehnologi Bandung (ITB). Di situlah ia mulai terbiasa dengan dunia laki-laki. "Sedikit perempuan di sana, tapi nggak masalah buat saya," kata sulung dari dua bersaudara ini.
Lulus kuliah, Ajenk bekerja di Badan Pengkajian dan Penerapan Tehnologi (BPPT) dan makin punya kesempatan untuk mendalami seluk-beluk dunia penerbangan. Hingga akhirnya, sekitar tahun 2009, KNKT resmi membuka laboratorium untuk analisis isi flight recorder pesawat-pesawat yang mengalami insiden ataupun kecelakaan.
Ajenk terpilih untuk mendapatkan kesempatan belajar menjadi flight recorders specialist selama tujuh bulan di Canberra, Australia. "Jadi, memang ada kerja sama dengan pihak Australian Transport Safety Bureau (ATSB)," katanya. Tak hanya belajar teori, ia juga magang di ATSB, KNKT-nya Australia itu.
Di Canberra, Ajenk mendapat pengalaman pertamanya sebagai analis kotak hitam. Ia mengunduh dan mengolah data dari black box pesawat, yang terdiri dari cockpit voice recorder (CVR) dan flight data recorder (FDR). "Di Australia, insiden serius atau kecelakaan pesawat terbang sangat jarang terjadi," ujar penyandang gelar master teknik penerbangan dari ITB ini.
Karena jarangnya insiden dalam penerbangan Australia, materi pertama yang ia telusuri selaku analis magang adalah insiden pesawat Merpati MZ836 jenis Boeing 737 MD
rute Sorong-Manokwari. "Itu kejadian tahun 2010. Kasusnya runway over
run di Bandara Manokwari," katanya. Setelah insiden itu, black box
pesawat nahas tersebut rupanya dikirim ke Canberra.
Ketika itu, Ajenk ingat betul betapa perasaannya berkecamuk saat mendengar materi kotak hitam yang berisi percakapan antara pilot, kopilot, dan unit kontrol lalu lintas udara (air traffic controller --ATC) terkait dengan insiden tersebut. "Gimana ya, sedih sekaligus serem banget ketika dengerin CVR. Pilot dan kopilotnya seperti sudah merasa ini bakal kecelakaan dan bisa jadi itu saat-saat terakhir hidup mereka," tuturnya mengenang pengalaman itu.
Karena itulah, penting bagi seorang analis atau investigator kotak hitam pesawat tidak hanyut terbawa perasaan. "Kita harus bisa me-manage emosi itu sehingga bisa tetap objektif ketika mendengar dan menganalisis," katanya.
Ajenk mengakui, tidak banyak perempuan yang berkecimpung dalam pekerjan yang digelutinya ini. Dalam kondisi itu, Ajenk tercatat sebagai satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai flight recorders specialist di Asia Tenggara. Bahkan di Australia, tak ada satu pun dari kaum hawa yang berkecimpung dalam pekerjaan yang menghadirkan trauma ini. "Pekerjaan ini bisa bikin trauma, dan perempuan cenderung menggunakan emosinya," kata Ajenk soal kelangkaan perempuan dalam pekerjaan ini.
Sejak tahun 2010 hingga sekarang, Ajenk tercatat telah menganalisis sekitar 20 kasus insiden dan kecelakaan pesawat di Indonesia. "Sebagian besar kasusnya karena runway over run alias landing kebablasan," ujarnya.
Sebagai pembaca kotak hitam, prosedur teknis yang dilakukannya adalah mengunduh data dari CVR dan FDR, lantas mengolahnya lewat sistem komputerisasi, untuk kemudian melakukan transkripsi. "Selain itu, berdasarkan FDR, kita juga bisa membuat animasi bagaimana pesawat itu mengalami insiden atau kecelakaan," katanya sembari menegaskan bahwa seorang flight recorders specialist tidak terjun ke lapangan atau ke lokasi tempat insiden atau kecelakaan terjadi.
Durasi analisis untuk sebuah kotak hitam bisa berbulan-bulan. "Akan lebih lama kalau kita belum punya data frame-nya," kata Ajenk. Namun "rekor" diciptakan ketika terjadi kecelakaan pesawat Merpati MA 60 di Teluk Simora, Kaimana, Papua Barat, pada Mei 2011. Karena sorotan media dan tuntutan publik, laporan awal hasil investigasi itu sudah muncul dalam waktu seminggu. "Pak Menteri aja sampai bolak-balik datang ke sini untuk menanyakan hasilnya," ujar Ajenk.
Yang menarik, sejak kuliah, apalagi setelah menggeluti pekerjaan sebagai analis kotak hitam, Ajenk merasa waswas bila hendak bepergian menggunakan jasa angkutan penerbangan. "Sejak tahu tentang dunia penerbangan dan pesawat, malah jadi serem kalau naik," kata istri Indra Wibisana ini.
Ajenk dan teman-temannya yang bekerja di unit flight recorders specialist berharap sesedikit mungkin menerima kiriman kotak hitam --lebih bahagia jika tidak mendapat kiriman sama sekali. "Bukannya kami senang menganggur. Tapi semakin sedikit kotak hitam yang kami terima, berarti kian menurun jumlah insiden dan kecelakaan pesawat. Penerbangan semakin aman," ia berharap.
Ketika itu, Ajenk ingat betul betapa perasaannya berkecamuk saat mendengar materi kotak hitam yang berisi percakapan antara pilot, kopilot, dan unit kontrol lalu lintas udara (air traffic controller --ATC) terkait dengan insiden tersebut. "Gimana ya, sedih sekaligus serem banget ketika dengerin CVR. Pilot dan kopilotnya seperti sudah merasa ini bakal kecelakaan dan bisa jadi itu saat-saat terakhir hidup mereka," tuturnya mengenang pengalaman itu.
Karena itulah, penting bagi seorang analis atau investigator kotak hitam pesawat tidak hanyut terbawa perasaan. "Kita harus bisa me-manage emosi itu sehingga bisa tetap objektif ketika mendengar dan menganalisis," katanya.
Ajenk mengakui, tidak banyak perempuan yang berkecimpung dalam pekerjan yang digelutinya ini. Dalam kondisi itu, Ajenk tercatat sebagai satu-satunya perempuan yang bekerja sebagai flight recorders specialist di Asia Tenggara. Bahkan di Australia, tak ada satu pun dari kaum hawa yang berkecimpung dalam pekerjaan yang menghadirkan trauma ini. "Pekerjaan ini bisa bikin trauma, dan perempuan cenderung menggunakan emosinya," kata Ajenk soal kelangkaan perempuan dalam pekerjaan ini.
Sejak tahun 2010 hingga sekarang, Ajenk tercatat telah menganalisis sekitar 20 kasus insiden dan kecelakaan pesawat di Indonesia. "Sebagian besar kasusnya karena runway over run alias landing kebablasan," ujarnya.
Sebagai pembaca kotak hitam, prosedur teknis yang dilakukannya adalah mengunduh data dari CVR dan FDR, lantas mengolahnya lewat sistem komputerisasi, untuk kemudian melakukan transkripsi. "Selain itu, berdasarkan FDR, kita juga bisa membuat animasi bagaimana pesawat itu mengalami insiden atau kecelakaan," katanya sembari menegaskan bahwa seorang flight recorders specialist tidak terjun ke lapangan atau ke lokasi tempat insiden atau kecelakaan terjadi.
Durasi analisis untuk sebuah kotak hitam bisa berbulan-bulan. "Akan lebih lama kalau kita belum punya data frame-nya," kata Ajenk. Namun "rekor" diciptakan ketika terjadi kecelakaan pesawat Merpati MA 60 di Teluk Simora, Kaimana, Papua Barat, pada Mei 2011. Karena sorotan media dan tuntutan publik, laporan awal hasil investigasi itu sudah muncul dalam waktu seminggu. "Pak Menteri aja sampai bolak-balik datang ke sini untuk menanyakan hasilnya," ujar Ajenk.
Yang menarik, sejak kuliah, apalagi setelah menggeluti pekerjaan sebagai analis kotak hitam, Ajenk merasa waswas bila hendak bepergian menggunakan jasa angkutan penerbangan. "Sejak tahu tentang dunia penerbangan dan pesawat, malah jadi serem kalau naik," kata istri Indra Wibisana ini.
Ajenk dan teman-temannya yang bekerja di unit flight recorders specialist berharap sesedikit mungkin menerima kiriman kotak hitam --lebih bahagia jika tidak mendapat kiriman sama sekali. "Bukannya kami senang menganggur. Tapi semakin sedikit kotak hitam yang kami terima, berarti kian menurun jumlah insiden dan kecelakaan pesawat. Penerbangan semakin aman," ia berharap.
Sumber : http://teringan.blogspot.com/2012/05/dyah-jatiningrum-satu-satunya-perempuan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar