5 Posting Terbaru

Rabu, 14 April 2010

Emosi: Bisa Positif dan Negatif

Tidak sedikit orang yang menyesal setelah melakukan tindakan fatal seperti mengamuk atau merusak, dipicu oleh kemarahan yang tak terbendung. Ia sendiri tidak mengerti mengapa sampai melakukan sesuatu yang tak pantas. Marah adalah salah satu bentuk emosi yang perlu diwaspadai.

http://stat.k.kidsklik.com/data/photo/2009/05/27/1504585p.jpg

“Jadi orang jangan suka emosi!” “Sudah-sudah! Tidak baik membuat orang emosi!” Kalimat sejenis itu tak jarang kita dengar. Kata emosi seringkali digunakan dalam kalimat seperti itu, sehingga memiliki konotasi negatif, yakni marah.

Sebetulnya terdapat berbagai jenis emosi: ada yang negatif, ada yang positif. Marah hanyalah salah satu jenis emosi negatif.

Selain marah, yang termasuk emosi negatif antara lain: waspada, benci, jijik, sedih, ngeri, dst. Sementara yang termasuk emosi positif antara lain: gembira, menerima, heran, takjub, dst.

Dalam interaksi sosial, emosi memegang peran sangat penting. Bayangkan bagaimana seandainya relasi antarpribadi berlangsung tanpa disertai emosi: kita berkomunikasi dengan ekspresi datar, tanpa lonjakan perasaan.

Meskipun demikian, ekspresi emosi meledak-ledak tak dapat diterima masyarakat. Itulah sebabnya diperlukan pengendalian emosi, bukan hanya untuk mengurangi ekspresi emosi yang tidak diharapkan, tetapi juga mengendalikan beberapa bentuk emosi yang seringkali menyulitkan kita sendiri, seperti kemarahan, kecemasan, rasa bersalah, dan juga cinta romantis.

Bagaimana mengendalikan emosi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu memahami apa itu emosi dan bagaimana proses kerja emosi.

Memahami Emosi
Eastwood Atwater, penulis buku Psychology of Adjustment, mengartikan emosi sebagai suatu kondisi kesadaran yang kompleks, mencakup sensasi di dalam diri dan ekspresi ke luar yang memiliki kekuatan memotivasi untuk bertindak.

Ketika kita mengalami emosi tertentu, misalnya gembira, tentu ada penyebabnya: berjumpa dengan orang yang dikasihi, mendapat bonus, dsb. Demikian pula ketika mengalami emosi sedih, tentu ada penyebabnya: gagal ujian, putus hubungan dengan orang yang dicintai, dsb.

Peristiwa-peristiwa yang yang kita hadapi itu akan mengakibatkan otot-otot secara refleks berkontraksi karena mengalami stimulasi semacam sengatan listrik. Selanjutnya, dengan itu kita menyadari dan menginterpretasi bahwa kita sedang gembira atau sedih, lalu interpretasi itu menentukan bagaimana kita bertindak.

Berdasarkan keadaan tersebut kita dapat menemukan bahwa emosi terdiri dari tiga komponen, yaitu adanya perubahan fisiologis (sensasi pada tubuh); kesadaran dan interpretasi yang bermakna subjektif akibat adanya sensasi; kemungkinan mengekspresikan kesadaran itu dalam tindakan.

Berikut kita coba memahami lebih jauh mengenai tiap-tiap komponen berdasarkan penjelasan Atwater. Hal ini penting, karena dengan memahami komponennya, kita akan menemukan cara mengendalikan emosi melalui komponen tersebut.

- Sensasi Tubuh
Penjelasan seperti di atas, yakni bahwa persepsi (interpretasi) kita terhadap stimulus eksternal dirangsang secara otomatis oleh adanya perubahan pada tubuh, merupakan teori lama dalam Psikologi. Hasil temuan yang lebih baru menunjukkan ternyata lokasi sumber emosi ada pada sistem saraf pusat, yakni otak.
Emosi melibatkan jaringan kerja perubahan fisiologis cukup rumit, yang memengaruhi jiwa dan tubuh secara simultan. Ketika sebuah stimulus dirasakan oleh indra, impuls (sinyal/pesan) dikirim melalui saraf-saraf menuju pusat otak.

Di sana proses impuls terbagi dua. Sebagian terkirim ke korteks, tempat stimulus disadari dan emosi dirasakan. Sebagian lainnya terkirim menuju otot, tempat perubahan tubuh dan perilaku terjadi.

Hasil temuan neurologis tersebut mengungkapkan, manusia dapat mengontrol emosi dengan memanipulasi sensasi tertentu. Contohnya, kita dapat mengendalikan emosi sakit dengan memblok pintu gerbang yang memungkinkan sinyal sakit terkirim ke otak. Hal ini telah dipraktikkan dalam dunia kesehatan, salah satunya dalam akupuntur.

- Interpretasi Sensasi
Hadirnya suatu stimulus di hadapan kita bukan saja menimbulkan sensasi secara fisiologis, melainkan juga menimbulkan interpretasi. Sensasi fisiologis menentukan seberapa besar intensitas emosi, sedangkan interpretasi yang merupakan komponen mental ini menentukan kualitas atau makna suatu emosi.

Jadi, bila yang kita alami adalah emosi marah, melalui perubahan fisiologis (pada tubuh) kita dapat merasakan seberapa kuatnya kemarahan kita, dan melalui pengalaman mental (proses interpretasi), kita memahami mengapa kita marah dan makna-makna lain dari kemarahan kita.

Mengenai interpretasi, sepasang peneliti, Schacter & Singer, menemukan bahwa gambaran mental (apa yang kita pikirkan) dan situasi sosial yang ada merupakan petunjuk sangat penting yang menentukan bagaimana interpretasi kita terhadap sensasi-sensasi pada tubuh.

Contoh untuk ini, ketika seseorang minum secangkir kopi ia mungkin menyadari dan mungkin juga tidak menyadari efek kopi itu terhadap fisiologi tubuhnya. Sesaat setelah meminum kopi, jantungnya berdetak kencang.

Bila saat itu ia berhadapan dengan seseorang yang berperilaku kasar, bila ia tidak menyadari efek kopi terhadap detak jantung, ia akan menginterpretasi bahwa orang yang ada di hadapannya itu telah membuatnya marah sampai jantungnya berdetak lebih kencang.

Namun, bila seseorang menyadari efek kopi yang meningkatkan detak jantung, ketika berhadapan dengan orang yang berperilaku kasar, ia cenderung menginterpretasi debaran jantungnya akibat minum kopi, bukan akibat perilaku orang di hadapannya.
Contoh yang sama juga dapat berlaku dalam situasi sosial yang berbeda. Ketika kita mengalami sensasi kehangatan akibat meminum satu sloki anggur (wine), bila sesaat kemudian di hadapan kita hadir seorang lawan jenis yang cukup menarik, bila tidak menyadari efek fisiologis dari anggur, kita cenderung menginterpretasi kehangatan itu sebagai efek dari kehadiran orang lain tersebut. Kita dapat jatuh cinta karenanya!

Dengan gambaran di atas, kita tahu bahwa emosi kita merupakan gabungan dari faktor fisiologis maupun faktor proses mental (kognitif). Dengan pemahaman ini kita dapat mengenali emosi-emosi yang melanda diri kita dengan lebih baik.

Kita dapat menelusuri apa yang membangkitkan emosi kita: adakah faktor fisiologis yang ikut berperan? Atau mengonsumsi makanan, minuman, atau obat tertentu yang memengaruhi fisiologi tubuh kita? Apakah faktor hormonal, misalnya haid, menopause, andropause? Bila benar-benar tidak ada, kita dapat menyimpulkan bahwa emosi kita benar-benar dipicu oleh situasi sosial yang ada.

Dengan mengenali asal muasal emosi seperti itu, kita dapat lebih mengendalikan emosi. Seorang wanita yang menjadi mudah marah menjelang atau sedang haid, bila ia menyadari dampak situasi fisiologis haidnya, ia lebih dapat mengendalikan diri untuk tidak marah meski ada pemicu dari lingkungan sosialnya (pekerjaan tidak lancar, anak membuat kecewa, dsb). Bayangkan bila kemarahan itu kita lepaskan begitu saja, mungkin situasi justru berkembang tidak menguntungkan.

- Respon Adaptif
Emosi sering dipahami sebagai perasaan; dan perilaku dipengaruhi oleh perasaan. Bagaimana emosi memengaruhi perilaku? Psikologi menjelaskan, setelah seseorang menerima stimulus, segera terjadi penilaian intuitif: baik atau buruk.

Penilaian ini menjadi petunjuk atau penentu perilaku. Pada binatang terdapat respon emosi primitif, yakni fight (berkelahi) atau flight (kabur), demikian pula emosi kita mengarahkan pada tindakan tertentu: mendekat atau menghindar.

Contohnya, bila kita diserang terus-menerus oleh seseorang yang penuh kuasa (powerful), kita akan merasa takut. Dalam situasi demikian muncul insting lari/kabur (flight) yang biasanya terjadi dalam situasi kita merasa tidak berdaya. Namun, bila serangan terus-menerus itu datang dari orang yang menurut kita kurang berkuasa, perasaan kita adalah marah. Dalam situasi demikian muncul insting berkelahi (fight) yang biasanya berkembang dalam situasi saat kita merasa dapat menjadi penentu (mengendalikan).

Tampak bahwa emosi memiliki peran penting dalam hidup. Emosi memiliki dua fungsi untuk adaptasi. Pertama, merupakan predisposisi untuk melakukan respon adaptif yang memungkinkan kita melakukan pertahanan hidup (survival). Kedua, memperkuat sosialitas (social ties) antara seseorang dengan yang lain dalam kelompoknya.

Fungsi adaptif yang kedua ini tampak jelas dalam situasi sehari-hari. Emosi cinta orangtua terhadap anak membantu orangtua menentukan bagaimana perilakunya terhadap sang anak. Cinta romantis membantu perilaku pasangan untuk saling mendekat. Emosi negatif, seperti cemburu, marah, dsb, juga memiliki fungsi, yaitu meniadakan perilaku yang tidak diinginkan dalam relasi sosial.

Simpul
Satu hal yang perlu diingat adalah, kita memiliki kebebasan untuk mengendalikan emosi kita. Bila kita dapat mengendalikan emosi, berarti kita juga mengendalikan perilaku.

Kapasitas ini perlu diberdayakan, terutama bila memiliki kecenderungan mengembangkan emosi yang destruktif. Tanpa pengendalian emosi, tujuan hidup dalam jangka panjang mungkin tidak tercapai akibat perilaku kita berakibat fatal.

Mengendalikan emosi tidak berarti menekan emosi yang kita alami ke dalam alam bawah sadar, yakni dengan mengabaikan atau menganggap emosi itu tidak ada. Kita perlu mengakui emosi-emosi kita dalam hati, tanpa mengekspresikannya begitu saja.
Kita perlu mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Ini merupakan salah satu cara untuk tetap sehat. @

MM Nilam Widyarini M.Si
Kandidat Doktor Psikologi

Sumber : kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topik Populer Bulan ini