5 Posting Terbaru

Rabu, 19 Maret 2008

Indonesia Akan Produksi Sendiri Vaksin Avian influenza


Setelah virus flu burung (Avian influenza/AI) yang sempat dikirimkan ke World Health Organization (WHO) kembali ke tangan RI, pemerintah berniat memproduksi vaksin flu burung untuk manusia. Dengan demikian, RI akan terbebas dari belenggu monopoli vaksin yang gencar dilakukan WHO.

Menteri Kesehatan RI Siti Fadilah Supari mengungkapkan hal itu, ketika ditemui seusai kuliah umum dan bedah buku "Saatnya Dunia Berubah - In the Spirit of Dignity, Transparency, and Equity", di aula barat kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), Jln. Ganeca Bandung, Selasa (18/3). "Sampel virus yang dikembalikan sekarang disimpan di Lembaga Eyckman. Kita fokus pada pengembangan virus sampai bisa produksi vaksin sendiri," katanya.

Namun, dari 58 virus yang dikirim, hanya 42 strain virus yang dikembalikan. Itu pun dengan kondisi telah berubah bentuk. "Kondisinya ada yang masih seperti dulu, ada yang ‘diubah’, tetapi bukan mutasi. Soal kenapa jadi ’diubah’, enggak boleh diomongin," ucapnya.

Dikembalikannya virus flu burung dilakukan melalui mekanisme transfer virus atau material transfer agreement (MTA). Dengan dikembalikannya strain virus flu burung, pemerintah berniat melakukan pengembangan sendiri.

Ketika ditanya cara pengembangan vaksin flu burung, Siti menjawab, "Soal bagaimana pengembangannya, itu rahasia dong."

Kecewa

Dalam paparannya di hadapan mahasiswa, Siti mengungkapkan, dirinya kecewa atas sikap WHO yang tidak memedulikan negara terjangkit flu burung (affected country). "Obat tamiflu penyediaannya ditentukan WHO sehingga saat Indonesia membutuhkannya, tidak kebagian. Karena stoknya sudah diborong negara-negara kaya, padahal negara kaya tidak punya kasus flu burung," tuturnya.

Menurut dia, aturan pembuatan vaksin dari virus liar yang berasal dari negara penderita yang mengirim virus oleh WHO ternyata sudah berjalan sejak 50 tahun lalu. Konspirasi tersebut dinamakan Global Influenza Surveillance Network (GISN). Dengan mekanisme itu, negara pengirim seakan tidak memiliki hak atas virus tersebut.

"Karena didorong reformasi, Inter Governmental Meeting (IGM) di Jenewa 20 November 2007 menetapkan, GISN adalah mekanisme yang tidak adil, transparan, dan setara. Dengan cara itu, harus dibuat mekanisme baru yang lebih transparan dan tidak merugikan negara penderita," ujarnya.

Belum siap

Ditemui di tempat yang sama, Direktur Utama PT Bio Farma Isa Mansyur mengatakan, tahap hilir untuk pengembangan vaksin flu burung sudah hampir rampung dengan menelan dana Rp 100 miliar. "Namun, pengembangan produksi pada tahap hulu belum siap karena masih terkendala dana karena membutuhkan sedikitnya Rp 300 miliar. Kalau mengajukan pinjaman ke perbankan pun diragukan karena termasuk kategori usaha yang tidak visible," katanya.

Jika tidak ada suntikan dana dari luar, Bio Farma akan menunggu pembayaran public service obligation (PSO) yang harus dibayar pemerintah senilai Rp 300 miliar. "Kalau tidak ada yang beri pinjam dana, kami tunggu pemerintah membayar PSO agar tahap hulu bisa segera dikembangkan dan vaksin flu burung dapat segera terwujud," ujarnya.

Namun, sampai saat ini pengajuan PSO belum direspons pemerintah. Padahal, jika PSO untuk investasi diterima tahun ini, Bio Farma sudah dapat melakukan produksi vaksin flu burung untuk manusia pada tahun 2011.

Selain masalah investasi, kendala yang masih dihadapi Bio Farma terkait alih teknologi. Isa mengatakan, produksi vaksin flu burung dilakukan dengan bahan baku dari telur ayam. "Mencari bahan baku telur di Indonesia sekarang susah karena ayamnya sudah terpolusi virus flu burung," tutur Isa.

Menurut dia, untuk keperluan alih teknologi, Bio Farma tengah menjajaki kemungkinan kerja sama dengan industri farmasi dari Eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topik Populer Bulan ini