5 Posting Terbaru

Kamis, 14 Februari 2008

Ramos Horta Ragu Jadi Kandidat Sekjen PBB


JOSE Ramos Horta, peraih Hadiah Nobel Perdamaian, selama lebih dari tiga puluh tahun menjadi figur kehidupan politik di Timor Leste. Ia dengan gigih membantu memimpin kampanye kemerdekaan Timor Leste di luar negeri agar terlepas dari Indonesia, yang sebelumnya merupakan koloni Portugal. Tentu saja upaya itu telah menuai perbedaan pendapat internasional, termasuk dari Indonesia. Namun, berkat kegigihannya, ia berhasil menempatkan nasib Timor Leste menjadi agenda global. Atas pertimbangan dan kegigihan untuk kemerdekaan itulah, ia pun berhasil meraih Hadiah Nobel Perdamaian.

Setelah akhirnya mendapatkan kemerdekaan, Ramos Horta kemudian ditunjuk sebagai menteri luar negeri dari pemerintahan yang dipimpin PM Mari Alkatiri yang akhirnya jatuh, setelah terjadi kerusuhan berdarah dipicu ketidakpuasan di tubuh militer pimpinan Alfredo Reinado, menyangkut soal kesejahteraan dan perlakuan tidak adil anak buahnya.

Di tengah ketidakpastian itulah, peraih Nobel ini muncul kembali sebagai tokoh yang dipandang banyak pihak bisa memperbaiki stabilitas di negaranya. Ia diangkat sebagai perdana menteri kedua pasca-Timor Leste memperoleh kemerdekaannya. Keadaan politik di negaranya sedikit membaik.

Ketika digelar pemilihan umum yang pertama di negara kecil ini, Ramos Horta kemudian mencalonkan diri sebagai presiden. Ketenaran namanya, baik di dalam maupun luar negeri menjadi bekal memuluskan dirinya menjadi presiden kedua Timor Leste.

Dalam pemilu yang digelar Mei 2007, Ramos Horta berhasil menyisihkan tujuh kandidat lainnya, termasuk pemimpin gerilyawan dan Fretilin Francisco Guterres.

Ramos Horta hampir selama 24 tahun mengasingkan diri di luar negeri, berhasil melakukan lobi dengan pemerintah asing dan PBB untuk mendapat kemerdekaan bagi negaranya, terutama setelah Timor Timur bergabung sebagai provinsi ke-27 Indonesia.

Ia pun memberanikan diri kembali ke tanah airnya dan menggalang kekuatan bersama Uksup Carlos Belo, serta mengampanyekan agar negara yang mayoritas penduduknya umat Katolik ini untuk merdeka.

Pada saat itu, Komite Nobel mengatakan akan membantu memecahkan masalah di Timor Timur, berdasarkan hak rakyatnya untuk menentukan nasib sendiri. Seiring dengan diraihnya penghargaan Nobel oleh Ramos Horta, ia pun gencar mengungkap tudingan adanya berbagai tindak kekerasan dari pemerintah Indonesia, sehingga semakin menarik perhatian para aktivis HAM internasional.

Bahkan Ketua Nobel di Swedia, Francis Sejersted, ketika itu menyatakan bahwa konflik itu tidak bisa dilupakan dan harus memberikan dukungan untuk menyesaikan konflik tersebut.

Tentukan nasib sendiri

Ketika Ramos Horta gencar melakukan kampanye untuk mendapatkan kemerdekaan, Indonesia diterjang krisis ekonomi disusul dengan jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998.

Beberapa tahun kemudian, rakyat di Timor Timur kemudian menyelenggarakan referendum untuk menentukan masa depannya. Hasilnya, sekitar 78,5 persen memilih untuk melepaskan diri dari Indonesia.

Selama proses transisi pemerintahan, Timor Timur sempat dilanda berbagai aksi kekerasan sehingga memaksa PBB untuk turun tangan, dengan mengirimkan ribuan pasukan penjaga perdamaian.

Di masa kritis ini, Ramos Horta kembali ke negaranya. Pada tahun 2002, Timor Leste mendapat kemerdekaan penuh dan berganti nama menjadi Timor Leste.

Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Mari Alkatiri dan partainya Fretilin, Ramos Horta menjadi pemimpin untuk berdiplomasi dengan pemerintah asing. Empat tahun kemudian, terjadi kerusuhan yang mengancam perpecahan di negara baru ini. Mari Alkatiri kemudian dituduh sebagai pemicu terjadinya kekerasan, setelah sekitar 600 tentara dari 1.400 personel kekuatan militer dipecat. Akibat kerusuhan ini, sedikitnya 21 orang tewas dan 150.000 warga terpaksa meninggalkan rumahnya.

Tentara di bawah pimpinan Mayor Alfredo Reinado yang tak puas ini, kemudian lari ke hutan dan melancarkan pemberontakan.

Perdana Menteri Mari Alkatiri, lalu mengundurkan diri dan tiga pekan kemudian, Presiden Xanana Gusmao mengangkat Ramos Horta sebagai perdana menteri, menggantikan Mari Alkatiri.

Pada tahun 2007, ketika ramai-ramainya dibicarakan kandidat pengganti Sekjen PBB Kofi Annan, Ramos Horta pernah disebut-sebut sebagai kandidat kuat. Namun, rupanya masalah di dalam negeri memaksanya untuk mencurahkan tenaga dan pikirannya, sehingga ia ragu-ragu untuk maju mencalonkan dirinya sebagai Sekjen PBB.

Hal ini tercermin dari wawancara dengan kantor berita asing dengan mengatakan, "Bagaimana jadinya jika saya meninggalkan Dili pada saat saya masih diperlukan di Timor Leste?" katanya. (Sumber PikiranRakyat.com)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Topik Populer Bulan ini