Ada banyak orangtua yang ragu memberikan vaksin MMR pada anaknya karena
diduga bisa menyebabkan autis. Benarkah banyak kasus autis usai anak
diberikan vaksin MMR? Ini penjelasannya.
Pemberian vaksin MMR diketahui bisa mencegah penyakit mump (gondongan), measles (campak) dan rubella (campak Jerman), biasanya diberikan pada anak berusia di atas 1 tahun. Sedangkan di Indonesia diberikan 6 bulan setelah imunisasi campak.
Dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi, Sekretaris Satgas Imunisasi PP IDAI, dalam penjelasannya menuturkan dokter Wakefield yang mengungkapkan bahwa MMR bisa menyebabkan autisme diketahui bukanlah ahli vaksin, tapi ia sebagai dokter spesialis bedah.
Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya menggunakan 18 sampel, setelah diaudit oleh tim ahli penelitian terbukti bahwa Wakefield memalsukan data sehingga kesimpulannya salah. Hasil ini sudah diumumkan dalam majalah kedokteran British Medical Journal Februari 2011.
Sedangkan banyak penelitian lain yang telah dilakukan oleh para ahli vaksin dibeberapa negara menyimpulkan bahwa vaksin MMR tidak terbukti mengakibatkan autis pada anak. Kondisi ini tidak ada hubungannya dan sudah dibuktikan secara ilmiah.
Namun umumnya gejala autis pertama kali terlihat saat bayi berusia 12-18 bulan, yang mana waktu tersebut hampir bersamaan dengan diberikannya vaksin MMR, sehingga banyak orang beranggapan autis yang dialami anak akibat vaksin MMR yang diberikan.
Padahal sebagian besar kasus anak-anak yang memiliki autis disebabkan oleh faktor genetik, sedangkan beberapa kasus lainnya belum diketahui dengan pasti apa penyebabnya.
Sementara itu sebelumnya diungkapkan bahwa penggunaan thimerosal dalam vaksin sebagai penyebab autisme. Tapi beberapa jurnal ilmiah mengungkapkan thimerosal tidak terbukti mengakibatkan gangguan neurodevelopment (gangguan perkembangan karena saraf).
Serta saat dilakukan pengamatan pada kelompok anak yang menerima thimerosal dan tidak, ternyata tidak ada perbedaan yang bermakna. Jadi thimerosal tidak berhubungan dengan kejadian autis.
"Sekarang sebagian besar vaksin tidak pakai thimerosal untuk mengurangi kekhawatiran orangtua, dan peneliti-peneliti yang menentang vaksin bukan ahli imunologi, dan kita harusnya mempercayakan hal-hal pada ahlinya. Kalau nggak ahli tentang vaksin ya jangan berbicara," ujar dr Rifan Fauzie, SpA dari RSAB Harapan Kita, saat dihubungi detikHealth, Rabu (20/6/2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar