Air Venezuela (Foto Airliners) |
Bagi mereka yang sehari-hari bekerja di Aircraft Service PT Dirgantara Indonesia, nama Joko Widadiyo mestinya sudah tak asing lagi. Kefasihanya dengan jeroan CN-235, membuat lulusan teknik mesin ITB separuh baya ini lebih dikenal sebagai "dukun" pesawat ini. Tak Percaya? Serahkan saja masalah terpelik dari pesawat andalan IPTN ini, dalam waktu singkat pasti akan diselesaikanya.
Suatu
ketika operator di Filipina pusing lantaran CN-235-nya terbang dengan
putaran mesin tak seimbang. Teknisi setempat menyerah, karena semua
sudut sudah diperiksa. Akan tetapi, begitu Joko hadir segalanya bisa
dibereskan dengan cepat. Usut punya usut, rupanya ada penumpukan debu
vulkanik yang tak imbang di ujung bilah baling-balingnya. Debu itupun
dibersihkan dan pesawat bisa kembali terbang sempurna.
Banyak yang mengatakan, feeling Joko memang "sudah menyatu" dengan pesawat ini. sehingga apa saja yang dirasakan biasanya benar terjadi. Namun demikian, toh kasus itu hanyalah gambaran kecil dari kemampuanya. Segalanya seolah mudah, tetapi rupanya tidak untuk penerbangan yang satu ini. Yakni, Penerbangan membawa kembali CN-235 bekas sewa Air Venezuela. Penerbangan melintas benua dan samudera ini sangat memeras pikiranya.
Sejak lepas landas April hingga mendarat di tanah air, 18 Mei 2002, begitu banyak masalah yang harus dihadapinya. Mulai dari masalaah teknis pesawat, pajak impor yang belum dibayar, kecurigaan aparat atas ekspor obat bius (drug), sampai ke perkara asuransi. Di tengah perjalanan, Joko dan seorang rekanya, Gendro Sulaksono, malah sempat dipenjara gara-gara tak memiliki Visa.
Berikut ini kisah penerbangan ferry 40 hari melintasi separo Bumi yang dramatis itu.
Banyak yang mengatakan, feeling Joko memang "sudah menyatu" dengan pesawat ini. sehingga apa saja yang dirasakan biasanya benar terjadi. Namun demikian, toh kasus itu hanyalah gambaran kecil dari kemampuanya. Segalanya seolah mudah, tetapi rupanya tidak untuk penerbangan yang satu ini. Yakni, Penerbangan membawa kembali CN-235 bekas sewa Air Venezuela. Penerbangan melintas benua dan samudera ini sangat memeras pikiranya.
Sejak lepas landas April hingga mendarat di tanah air, 18 Mei 2002, begitu banyak masalah yang harus dihadapinya. Mulai dari masalaah teknis pesawat, pajak impor yang belum dibayar, kecurigaan aparat atas ekspor obat bius (drug), sampai ke perkara asuransi. Di tengah perjalanan, Joko dan seorang rekanya, Gendro Sulaksono, malah sempat dipenjara gara-gara tak memiliki Visa.
Berikut ini kisah penerbangan ferry 40 hari melintasi separo Bumi yang dramatis itu.
Atur Strategi
Sejak
Krisis hebat memukul pada tahun 1997, segala kegiatan di PTDI memang
selalu dibuat sesederhana mungkin. Tak terkecuali dalam misi penjemputan
CN-235 yang pernah disewa Air Venezuela. Perusahaan ini (PT DI) hanya
mengutus dua teknisi, yakni Joko dan Gendro.
PTDI tak mengutus penerbang, karena secara teknis pesawat ini memang lebih baik ”diserahkan” kebada Carlos Koesling (56), dan Santiago (56). Pilihan ini dianggap tepat mengingat selain kebangsaanya (Venezuela) bisa memudahkan pesawat itu keluar dari wilayah hukum Venezuela, keduanya juga sudah kenal betul karakter pesawat mesin ganda ini. Carlos selaku kapten pilot, adalah pensiunan penerbang Air Venezuela yang sudah fasih betul dengan pesawat ini.
Selain memiliki kualifikasi CN-235, Carlos juga punya lisensi DC-10. Sementara Kopilot Santiago, selain CN-235, juga punya lisensi terbang DC-10 dan DC-9. Kedua penerbang tua ini persisnya akan membawa pesawat terlebih dulu ke Brazil, lalu menyebrangi Samudra Atlantik, mampir di Spanyol, melintas Asia Selatan, dan selanjutnya lurus ke Indonesia. Bagi kebanyakan Penerbang, Atlantik adalah yang terberat. Tak banyak penerbang yang berani mengarunginya, karena salah hitung sedikit bisa kehabisan bahan bakar diudara.
”Untuk urusan ini, saya akui Carlos dan Santiago memang jago” puji Joko. Keahlianya adalah berkat keseringanya mengantar wisatawan ke sejumlah resor di samudera yang ganas tersebut. Sedemikian seringnya, sampai-sampai hanya dengan menghitung arah dan kecepatan, mereka bisa tahu sedang terbang di atas check point mana saja. Penerbang-penerbang yang tak kenal jalur Edan ini biasanya mengambil jalur melengkung ke utara Amerika lebih dulu, menyebrang ke Eslandia, ke Eropa, lalu ke Asia. Biaya operasinya memang jauh lebih mahal, namun jauh lebih aman.
Misi pun disusun dengan perencanaan yang matang. Jusman, dirut PT DI (waktu itu) yang memimpin langsung misi, membaginya dalam tiga sub-misi. Pertama, evaluasi kondisi pesawat dan masalah surat-suratnya. Kedua, perbaikan pesawat dan pengurusan perizinan terbangnya. Sedang ketiga, barulah, proses membawa pesawat tersebut pulang ke Tanah Air.
Sepintas terkesan mudah, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa seluruh misi bisa benar-benar berlangsung mudah dan sesuai rencana? Pasalnya, semua orang tahu, pesawat sedang dalam kondisi fisik yang sulit ditebak, ia sudah tidak laik terbang sejak November 2001. Di lain pihak, bukanlah rahasia lagi bahwa hampir semua pesawat yang “masuk” ke Venezuela pasti akan sulit untuk “keluar” lagi. Beberapa Negara telah mengalaminya.
Hitung punya hitung, pimpinan operasi akhirnya dipercayakan kepada Joko Widadiyo. Prestasi, pengalaman, keuletan, dan pemahamanya yang mendalam pada karakter pesawat, adalah dasar penunjukannya. Posturnya memang kecil dan kurus, namun siapa sangka jika misi membawa kembali DCH-5 Buffalo dari sebuah negara Afrika pada tahun 90-an berhasil memuaskan di tanganya. Kala itu, pesawat milik IPTN yang tengah dipakai PBB itu sama-sama tengah dililit permasalahan berat.
Singkat cerita, Joko segera atur strategi. Sebagai langkah awal, ia putuskan pergi dulu untuk melihat kondisi pesawat dan perkara administrasinya. Begitu mendarat di bandara Maiquetia, Caracas, Bulan Desember 2001, bukan main kaget dirinya melihat pesawat yang akan dijemputnya. CN-235 yang ikut mendanai zaman keemasan IPTN itu teronggok mengenaskan.
“Mesinya sudah diturunkan satu karena rusak. Konektor Flight control-nya banyak yang kena karat, catnya kusam, sementara hampir semua kursinya rusak. Pihak Air Venezuela benar-benar sudah meninggalkan-nya, kisah Joko. ”Untung saja belum ada krack (keretakan metal) dan semua itu bisa diperbaiki,” sambungnya optimis.
Itu sebabnya, begitu kembali ke tanah air, Joko pun mempersiapkan segalanya. Mulai tim teknisi dari Universal Maintenance Center (UMC) yang akan ditugasi memperbaiki mesin, suku cadang, sampai broker atau agen lokal yang akan ditunjuk untuk mengurusi surat-surat pesawat.
PTDI tak mengutus penerbang, karena secara teknis pesawat ini memang lebih baik ”diserahkan” kebada Carlos Koesling (56), dan Santiago (56). Pilihan ini dianggap tepat mengingat selain kebangsaanya (Venezuela) bisa memudahkan pesawat itu keluar dari wilayah hukum Venezuela, keduanya juga sudah kenal betul karakter pesawat mesin ganda ini. Carlos selaku kapten pilot, adalah pensiunan penerbang Air Venezuela yang sudah fasih betul dengan pesawat ini.
Selain memiliki kualifikasi CN-235, Carlos juga punya lisensi DC-10. Sementara Kopilot Santiago, selain CN-235, juga punya lisensi terbang DC-10 dan DC-9. Kedua penerbang tua ini persisnya akan membawa pesawat terlebih dulu ke Brazil, lalu menyebrangi Samudra Atlantik, mampir di Spanyol, melintas Asia Selatan, dan selanjutnya lurus ke Indonesia. Bagi kebanyakan Penerbang, Atlantik adalah yang terberat. Tak banyak penerbang yang berani mengarunginya, karena salah hitung sedikit bisa kehabisan bahan bakar diudara.
”Untuk urusan ini, saya akui Carlos dan Santiago memang jago” puji Joko. Keahlianya adalah berkat keseringanya mengantar wisatawan ke sejumlah resor di samudera yang ganas tersebut. Sedemikian seringnya, sampai-sampai hanya dengan menghitung arah dan kecepatan, mereka bisa tahu sedang terbang di atas check point mana saja. Penerbang-penerbang yang tak kenal jalur Edan ini biasanya mengambil jalur melengkung ke utara Amerika lebih dulu, menyebrang ke Eslandia, ke Eropa, lalu ke Asia. Biaya operasinya memang jauh lebih mahal, namun jauh lebih aman.
Misi pun disusun dengan perencanaan yang matang. Jusman, dirut PT DI (waktu itu) yang memimpin langsung misi, membaginya dalam tiga sub-misi. Pertama, evaluasi kondisi pesawat dan masalah surat-suratnya. Kedua, perbaikan pesawat dan pengurusan perizinan terbangnya. Sedang ketiga, barulah, proses membawa pesawat tersebut pulang ke Tanah Air.
Sepintas terkesan mudah, tetapi siapa yang bisa menjamin bahwa seluruh misi bisa benar-benar berlangsung mudah dan sesuai rencana? Pasalnya, semua orang tahu, pesawat sedang dalam kondisi fisik yang sulit ditebak, ia sudah tidak laik terbang sejak November 2001. Di lain pihak, bukanlah rahasia lagi bahwa hampir semua pesawat yang “masuk” ke Venezuela pasti akan sulit untuk “keluar” lagi. Beberapa Negara telah mengalaminya.
Hitung punya hitung, pimpinan operasi akhirnya dipercayakan kepada Joko Widadiyo. Prestasi, pengalaman, keuletan, dan pemahamanya yang mendalam pada karakter pesawat, adalah dasar penunjukannya. Posturnya memang kecil dan kurus, namun siapa sangka jika misi membawa kembali DCH-5 Buffalo dari sebuah negara Afrika pada tahun 90-an berhasil memuaskan di tanganya. Kala itu, pesawat milik IPTN yang tengah dipakai PBB itu sama-sama tengah dililit permasalahan berat.
Singkat cerita, Joko segera atur strategi. Sebagai langkah awal, ia putuskan pergi dulu untuk melihat kondisi pesawat dan perkara administrasinya. Begitu mendarat di bandara Maiquetia, Caracas, Bulan Desember 2001, bukan main kaget dirinya melihat pesawat yang akan dijemputnya. CN-235 yang ikut mendanai zaman keemasan IPTN itu teronggok mengenaskan.
“Mesinya sudah diturunkan satu karena rusak. Konektor Flight control-nya banyak yang kena karat, catnya kusam, sementara hampir semua kursinya rusak. Pihak Air Venezuela benar-benar sudah meninggalkan-nya, kisah Joko. ”Untung saja belum ada krack (keretakan metal) dan semua itu bisa diperbaiki,” sambungnya optimis.
Itu sebabnya, begitu kembali ke tanah air, Joko pun mempersiapkan segalanya. Mulai tim teknisi dari Universal Maintenance Center (UMC) yang akan ditugasi memperbaiki mesin, suku cadang, sampai broker atau agen lokal yang akan ditunjuk untuk mengurusi surat-surat pesawat.
Tunggakan 20.000 dollar
Adapun
itu, ada sejumlah pertimbangan mengapa pesawat tersebut sampai harus
segera diambil. Pertama, secara hukum, pesawat ini masih milik PTDI.
Kedua, Air Venezuela sebagai penyewa sudah bangkrut hingga tak jelas
lagi siapa yang bertanggung jawab. Ketiga, jika dibiarkan terlalu lama
nongkrong hanya akan mendatangkan masalah pelik. Sedang yang keempat,
dan inilah yang terpenting. Calon penyewa yang baru telah menunggunya.
Singkat cerita, pada Febuari 2002, Joko kembali ke Caracas dengan sejumlah “pasukan” dan suku-cadang. Dalam beberapa hari, mesin akhirnya bisa “dinaikan” kembali. Bagian-bagian yang terkena karat, dibuka, dibersihkan, lalu di cat ulang. Semuanya tampak lancar-lancar saja, termasuk dalam urusan surat-menyurat. Agen yang ditunjuk PTDI pun tampak tak mengalami kesulitan dalam mengurus izin ekspor, surat kelaikan terbang, dan sebagainya.
Lepas dari sub-misi kedua, Joko pun sampai ke operasi puncak, membawa pulang CN-235 ke Tanah Air. Ia kembali untuk ketiga kalinya pada akhir Maret 2002 dengan segala persiapan untuk perjalanan separuh Bumi yang akan dilaluinya. Semua dilakukan secara cermat. Termasuk di dalamnya mengganti Brush untuk Starter-generator dan hydraulic pump. Ia pun mengontrol langsung penyelesaian surat-surat kelaikan terbangnya. Total, makan waktu 10 hari. Menurutnya, yang makan waktu paling lama adalah soal surat-surat tersebut.
Itu sebabnya, ketika pada Senin, 8 april 2002, sekitar pukul 15.00, pesawat baru saja mendarat dari uji terbang, tak mau buang waktu lagi, keempat awak segera memasukan barang-barang yang telah disiapkan pagi harinya. Hari itu juga, sekitar pukul tujuh malam, mereka langsung terbang ke Maturin, kota kecil di sebelah timur Caracas ini masih di wilayah Venezuela. Namun paling tidak, Joko-Gendro sudah bisa meninggalkan Ibukota Venezuela.
Akan tetapi, Dewi fortuna rupanya belum mau memihak. Tatkala Carlos, Joko, dan Gendro sedang berkemas esok paginya, tanpa sengaja Santiago melakukan kesalahan dalam men-Start mesin. Mesin tak mau Hidup, sementara baterai (aki) pesawat yang sedari awal memang sudah agak lemah, langsung anjlok. Para awak pun panik lantaran tak mudah mencari ground-power di kota sekecil Maturin. Ground-power adalah semacam pembangkit listrik untuk menghidupkan mesin pesawat. Namun, kesalahan tersebut ada hikmahnya juga mengingat setelah dilakukan pemeriksaan ada sebuah kerusakan yang akan berakibat fatal jika penerbangan tetap dipaksakan. Kerusakan ini terjadi pada saluran kompresor AC dan mesin. Kerusakan inilah yang sesungguhnya membuat mesin itu bungkam.
“Kepala baut klem-nya patah. Akibatnya terjadi kebocoran udara yang semestinya dipakai untuk pembakaran mesin. Entah apa yang akan terjadi jika saluran udara bertekanan itu bocor di atas Amazon?” tutur Joko. Kerusakan sendiri mudah ditangani, yakni dengan mengganti baut. Sementara untuk mengatasi masalah aki, mereka kemudian mengakalinya dengan men-charge baterai itu di salah satu toko onderdil.
Sebelum sore menjelang masalah sebenarnya sudah tertangani, namun Carlos keberatan jika pesawat harus terbang malam itu juga ke Fortaleza, Brazil. Ia lebih suka berangkat esok paginya, karena menurutnya amat riskan menyebrangi belantara Amazon pada malam hari.
Apa mau dikata, rupanya masalah belum mau lepas dari rombongan yang sudah tak sabar ingin menutaskan perjalanan jauh ini. Begitu pesawat sudah siap dipacu, pada Rabu pagi, 10 April, Tower Maturin tiba-tiba melarang mereka pergi. Perasaan buruk pun segera menghantui seluruh awak. “kalau hanya soal teknis, tak soal buat saya. Lain halnya kalau urusan administrative. Ini yang membuat kami deg-degan,” aku Joko.
Benar saja. Kali itu pihak Venezuela mulai ”menjerat” CN-235 bernomor registrasi YV-1097 tersebut dengan pasal anti-drug (anti obat bius). ”Celakanya kamu memang belum dibekali surat-surat anti-drug, salah satu persyaratan yang harus dimiliki setiap pesawat yang akan keluar dari Venezuela. Kami pun terpaksa menginap lagi. Surat-surat itu pun segera kami laporkan ke agen kami di Caracas untuk ditindaklanjuti,” tuturnya.
Sebenarnya surat tersebut bisa diselesaikan hari itu juga, namun ganjalan lain rupanya sudah disiapkan. Keesokan harinya – lagi-lagi petugas bandara melarang kami untuk meninggalkan Marutin. Kali itu yang dijadikan alasan adalah laporan dari Caracas bahwa pesawat masih menunggak pajak hingga 20.000 dollar AS. Tunggakan importation tax ini dikatakan sudah menumpuk sejak pesawat masuk ke negerinya pada tahun 1998. meski PTDI tak bertanggung-jawab atas hutang Air Venezuela, toh mereka tetap ditahan untuk menyelesaikanya.
”Seminggu masalah ini tak terselesaikan, saya pun kembali ke Caracas. Yang mengesalkan, permasalahan ini baru selesai sebulan kemudian. Bayangkan!” keluhnya. Berusaha menahan kesal, Joko pun kembali ke Marutin pada hari Senin, 6 Mei.
Begitu pun cobaan belum juga usai. Esok paginya, begitu mesin dinyalakan, Carlos kembali mendapati baterai pesawat soak. Sebulan tak disentuh rupanya telah membuat aki kehilanggan stroom. celakanya, charger yang sebelumnya pernah dipakai, kali itu sudah tak jelas lagi rimbanya, para awak CN-235 kembali dipaksa putar otak.
Singkat cerita, pada Febuari 2002, Joko kembali ke Caracas dengan sejumlah “pasukan” dan suku-cadang. Dalam beberapa hari, mesin akhirnya bisa “dinaikan” kembali. Bagian-bagian yang terkena karat, dibuka, dibersihkan, lalu di cat ulang. Semuanya tampak lancar-lancar saja, termasuk dalam urusan surat-menyurat. Agen yang ditunjuk PTDI pun tampak tak mengalami kesulitan dalam mengurus izin ekspor, surat kelaikan terbang, dan sebagainya.
Lepas dari sub-misi kedua, Joko pun sampai ke operasi puncak, membawa pulang CN-235 ke Tanah Air. Ia kembali untuk ketiga kalinya pada akhir Maret 2002 dengan segala persiapan untuk perjalanan separuh Bumi yang akan dilaluinya. Semua dilakukan secara cermat. Termasuk di dalamnya mengganti Brush untuk Starter-generator dan hydraulic pump. Ia pun mengontrol langsung penyelesaian surat-surat kelaikan terbangnya. Total, makan waktu 10 hari. Menurutnya, yang makan waktu paling lama adalah soal surat-surat tersebut.
Itu sebabnya, ketika pada Senin, 8 april 2002, sekitar pukul 15.00, pesawat baru saja mendarat dari uji terbang, tak mau buang waktu lagi, keempat awak segera memasukan barang-barang yang telah disiapkan pagi harinya. Hari itu juga, sekitar pukul tujuh malam, mereka langsung terbang ke Maturin, kota kecil di sebelah timur Caracas ini masih di wilayah Venezuela. Namun paling tidak, Joko-Gendro sudah bisa meninggalkan Ibukota Venezuela.
Akan tetapi, Dewi fortuna rupanya belum mau memihak. Tatkala Carlos, Joko, dan Gendro sedang berkemas esok paginya, tanpa sengaja Santiago melakukan kesalahan dalam men-Start mesin. Mesin tak mau Hidup, sementara baterai (aki) pesawat yang sedari awal memang sudah agak lemah, langsung anjlok. Para awak pun panik lantaran tak mudah mencari ground-power di kota sekecil Maturin. Ground-power adalah semacam pembangkit listrik untuk menghidupkan mesin pesawat. Namun, kesalahan tersebut ada hikmahnya juga mengingat setelah dilakukan pemeriksaan ada sebuah kerusakan yang akan berakibat fatal jika penerbangan tetap dipaksakan. Kerusakan ini terjadi pada saluran kompresor AC dan mesin. Kerusakan inilah yang sesungguhnya membuat mesin itu bungkam.
“Kepala baut klem-nya patah. Akibatnya terjadi kebocoran udara yang semestinya dipakai untuk pembakaran mesin. Entah apa yang akan terjadi jika saluran udara bertekanan itu bocor di atas Amazon?” tutur Joko. Kerusakan sendiri mudah ditangani, yakni dengan mengganti baut. Sementara untuk mengatasi masalah aki, mereka kemudian mengakalinya dengan men-charge baterai itu di salah satu toko onderdil.
Sebelum sore menjelang masalah sebenarnya sudah tertangani, namun Carlos keberatan jika pesawat harus terbang malam itu juga ke Fortaleza, Brazil. Ia lebih suka berangkat esok paginya, karena menurutnya amat riskan menyebrangi belantara Amazon pada malam hari.
Apa mau dikata, rupanya masalah belum mau lepas dari rombongan yang sudah tak sabar ingin menutaskan perjalanan jauh ini. Begitu pesawat sudah siap dipacu, pada Rabu pagi, 10 April, Tower Maturin tiba-tiba melarang mereka pergi. Perasaan buruk pun segera menghantui seluruh awak. “kalau hanya soal teknis, tak soal buat saya. Lain halnya kalau urusan administrative. Ini yang membuat kami deg-degan,” aku Joko.
Benar saja. Kali itu pihak Venezuela mulai ”menjerat” CN-235 bernomor registrasi YV-1097 tersebut dengan pasal anti-drug (anti obat bius). ”Celakanya kamu memang belum dibekali surat-surat anti-drug, salah satu persyaratan yang harus dimiliki setiap pesawat yang akan keluar dari Venezuela. Kami pun terpaksa menginap lagi. Surat-surat itu pun segera kami laporkan ke agen kami di Caracas untuk ditindaklanjuti,” tuturnya.
Sebenarnya surat tersebut bisa diselesaikan hari itu juga, namun ganjalan lain rupanya sudah disiapkan. Keesokan harinya – lagi-lagi petugas bandara melarang kami untuk meninggalkan Marutin. Kali itu yang dijadikan alasan adalah laporan dari Caracas bahwa pesawat masih menunggak pajak hingga 20.000 dollar AS. Tunggakan importation tax ini dikatakan sudah menumpuk sejak pesawat masuk ke negerinya pada tahun 1998. meski PTDI tak bertanggung-jawab atas hutang Air Venezuela, toh mereka tetap ditahan untuk menyelesaikanya.
”Seminggu masalah ini tak terselesaikan, saya pun kembali ke Caracas. Yang mengesalkan, permasalahan ini baru selesai sebulan kemudian. Bayangkan!” keluhnya. Berusaha menahan kesal, Joko pun kembali ke Marutin pada hari Senin, 6 Mei.
Begitu pun cobaan belum juga usai. Esok paginya, begitu mesin dinyalakan, Carlos kembali mendapati baterai pesawat soak. Sebulan tak disentuh rupanya telah membuat aki kehilanggan stroom. celakanya, charger yang sebelumnya pernah dipakai, kali itu sudah tak jelas lagi rimbanya, para awak CN-235 kembali dipaksa putar otak.
Merancang baterai
Tak
ada akar, rotan pun jadi. Joko pun berusaha mengakalinya dengan
merancang baterai alternatif. Agak berlebihan memang, namun apa salahnya
dicoba. Baterai darurat ini adalah gabungan baterai-baterai yang
kapasitasnya lebih kecil. Ia terdiri dari dua aki mobil 12 Volt 1200
Ampere dan sebuah aki traktor 6 Volt 1100 Ampere. Ketiganya disusun
serial hingga terciptalah aki 30 Volt berkapasitas 1100 Ampere.
Ikut berjasa juga dalam mendukung “eksperimen” ini adalah sejumlah petugas lapangan terbang Maturin. Dukungan ini rupanya timbul karena mereka bersimpati dengan kesulitan yang tengah dialami keempat awak CN-235. Dengan ringan tangan, mereka misalnya mau mengantar joko ke sejumlah pasar untuk mencari ketiga aki tersebut.
Sepintas, tenaga listrik yang muncul memang setara dengan aki pesawat yang 28 Volt 3000 Ampere. Namun, sejauh mana “penolakan” yang akan terjadi, tak seorang pun yang tahu. Untuk itu, kuncinya memang satu : di coba!
Dengan perasaan simpang siur, aki darurat itu pun dicoba. Kecuali Carlos dan Santiago, semua awak dan petugas lapangan terbang Maturin melihat dari luar dengan perasaan was-was. Bukan main, aki eksperimental ini rupanya cespleng juga. Satu mesin menyala, namun hal ini bukan masalah mengingat putaran mesinnya serta-merta akan “mengirim” arus listrik ke aki pesawat yang asli. Baterai inilah yang kemudian akan digunakan untuk menghidupkan mesin satunya lagi.
”Bagi saya, suasana pada saat itu amat mengharukan. Terlebih ketika para petugas Maturin yang sudah kandung bersimpati dengan kami ikut larut dalam kegembiraan. Mereka bertepuk-tangan.” kisah Joko tentang spontanitas yang jarang terjadi di bandara-bandara besar itu.
Akan tetapi, kebahagiaan pada hari Kamis, 9 Mei itu, rupanya masih juga harus diuji dengan cobaan lain. Diluar dugaan, meski secara teknis wajar-wajar saja, sejumlah kabel berikut konektornya tiba-tiba meleleh. Kemungkinan besar hal ini terjadi akibat kabel-kabel itu tak kuat menanggung arus listrik yang terlampau besar. Untungnya, insiden kecil ini tak sampai mempengaruhi kinerja pesawat secara keseluruhan. Itu sebabnya, begitu selesai melakukan perbaikan seperlunya, sekitar jam 12 siang rombongan segera minta izin tower untuk meninggalkan Maturin.
Lamat-lamat terlihat para petugas Maturin melambai-lambaikan tangan. Ungkapan rasa simpatik yang teramat sederhana itu adalah dorongan semangat yang luar biasa bagi para awak. Mereka pun langsung menanjak ke ketinggian 17.000 kaki dan terbang dengan kecepatan rata-rata 170 knot.
Keluar dari Maturin, barulan CN-235 masuk ke dalam penerbangan yang sesungguhnya. Menjelajah non-stop sekitar sembilan jam menuju Fortaleza, Brazil. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan belantara Amazon. Benar seperti yang dikuatirkan Carlos. Apa yang akan terjadi jika pada malam hari pesawat mengalami gangguan diatasnya? Di sejumlah tempat memang ada lapangan terbang kecil yang bisa digunakan sebagai tempat pendaratan darurat, namun di atas jam lima sore semuanya akan tutup. Selebihnya, dimalam hari, Amazon hanyalah hutan yang gelap mengerikan. Bukanlah rahasia, jika telah banyak tragedi mengerikan terjadi di sini dan tak pernah bisa diungkap ujungnya.
”Saya sendiri, jujur, tak punya perasaan takut terbang diatasnya. Bagi saya yang menakutkan adalah justru bayangan masalah surat-surat dan administrasi di tempat perhentian berikutnya,” kenang Joko sambil tersenyum.
Ikut berjasa juga dalam mendukung “eksperimen” ini adalah sejumlah petugas lapangan terbang Maturin. Dukungan ini rupanya timbul karena mereka bersimpati dengan kesulitan yang tengah dialami keempat awak CN-235. Dengan ringan tangan, mereka misalnya mau mengantar joko ke sejumlah pasar untuk mencari ketiga aki tersebut.
Sepintas, tenaga listrik yang muncul memang setara dengan aki pesawat yang 28 Volt 3000 Ampere. Namun, sejauh mana “penolakan” yang akan terjadi, tak seorang pun yang tahu. Untuk itu, kuncinya memang satu : di coba!
Dengan perasaan simpang siur, aki darurat itu pun dicoba. Kecuali Carlos dan Santiago, semua awak dan petugas lapangan terbang Maturin melihat dari luar dengan perasaan was-was. Bukan main, aki eksperimental ini rupanya cespleng juga. Satu mesin menyala, namun hal ini bukan masalah mengingat putaran mesinnya serta-merta akan “mengirim” arus listrik ke aki pesawat yang asli. Baterai inilah yang kemudian akan digunakan untuk menghidupkan mesin satunya lagi.
”Bagi saya, suasana pada saat itu amat mengharukan. Terlebih ketika para petugas Maturin yang sudah kandung bersimpati dengan kami ikut larut dalam kegembiraan. Mereka bertepuk-tangan.” kisah Joko tentang spontanitas yang jarang terjadi di bandara-bandara besar itu.
Akan tetapi, kebahagiaan pada hari Kamis, 9 Mei itu, rupanya masih juga harus diuji dengan cobaan lain. Diluar dugaan, meski secara teknis wajar-wajar saja, sejumlah kabel berikut konektornya tiba-tiba meleleh. Kemungkinan besar hal ini terjadi akibat kabel-kabel itu tak kuat menanggung arus listrik yang terlampau besar. Untungnya, insiden kecil ini tak sampai mempengaruhi kinerja pesawat secara keseluruhan. Itu sebabnya, begitu selesai melakukan perbaikan seperlunya, sekitar jam 12 siang rombongan segera minta izin tower untuk meninggalkan Maturin.
Lamat-lamat terlihat para petugas Maturin melambai-lambaikan tangan. Ungkapan rasa simpatik yang teramat sederhana itu adalah dorongan semangat yang luar biasa bagi para awak. Mereka pun langsung menanjak ke ketinggian 17.000 kaki dan terbang dengan kecepatan rata-rata 170 knot.
Keluar dari Maturin, barulan CN-235 masuk ke dalam penerbangan yang sesungguhnya. Menjelajah non-stop sekitar sembilan jam menuju Fortaleza, Brazil. Sejauh mata memandang hanyalah hamparan belantara Amazon. Benar seperti yang dikuatirkan Carlos. Apa yang akan terjadi jika pada malam hari pesawat mengalami gangguan diatasnya? Di sejumlah tempat memang ada lapangan terbang kecil yang bisa digunakan sebagai tempat pendaratan darurat, namun di atas jam lima sore semuanya akan tutup. Selebihnya, dimalam hari, Amazon hanyalah hutan yang gelap mengerikan. Bukanlah rahasia, jika telah banyak tragedi mengerikan terjadi di sini dan tak pernah bisa diungkap ujungnya.
”Saya sendiri, jujur, tak punya perasaan takut terbang diatasnya. Bagi saya yang menakutkan adalah justru bayangan masalah surat-surat dan administrasi di tempat perhentian berikutnya,” kenang Joko sambil tersenyum.
Dipenjara Dua malam
Foto IPTN |
Meski segalanya berlangsung lancar, malam itu ada peristiwa khusus yang diingat betul oleh Joko. Sebagai komitmen pribadi atas kesalahanya selagi di Maturin, Santiago memutuskan untuk tidur di kamar Carlos. Hal ini masih akan dilakukanya hingga beberapa kota perhentian di depan. Semua ini ternyata dilakukanya demi ”menebus” biaya ekstra yang telah dikeluarkan unuk membeli aki, penginapan, dan pengurusan surat-surat yang membuat perjalanan tertunda lebih dari sebulan.
”Saya kagum dengan prakarsa Carlos-Santiago itu, intinya, mereka mau mengerti keterbatasan uang yang kami pegang,” puji Joko. ”Hanya, mulai dari Cairo, Santiago kembali menuntut tidur pada kamar terpisah.”
Seperti juga penerbangan Maturin-Fortaleza, rute Fortaleza-Cape Verde berhasil dilalui tanpa masalah berarti. Cape Cerde adalah pulau kecil yang posisinya sudah tak begitu jauh dari daratan Afrika sebelah barat. Lokasi wisata ini ditempuh dalam waktu 8 jam 20 menit. Ini berarti sebuah prestasi lain bagi CN-235. Pesawat ini berhasil melintas Samudera Atlantik nonstop pada rentang yang paling panjang.
Sesekali Joko dan Gendro menggantikan posisi salah satu penerbang, agar seorang dari mereka bisa bergantian beristirahat. Ia tak pernah sedikitpun menyangsikan ketangguhan pesawat, karena memang tak ada sama sekali indikator yang menyatakan ketidakberesan. Tourqe mesin baik. ITT (interstate turbin temperature) bagus. Arus konsumsi bahan bakar normal, yakni 390-380 pound/jam. Propeller, tekanan oli, dan suhu mesin, juga tak menunjukan adanya indikasi malfungsi pada system kompresi, indikator tersebut selalu dicek di sepanjang penerbangan.
Masalah baru menghadang begitu mereka mendarat di Canary, Sabtu, 11 Mei. Masih seperti yang dikuatirkan Joko, kali itu masih soal surat. Kalau sebelumnya soal Izin pesawat, kali ini adalah urusan Visa. Kilah Joko-Gendro bahwa Visa bukanlah suatu keharusan dalam penerbangan Ferry, ditolak mentah-mentah pihak keimigrasian salah satu negeri jajahan Spanyol itu.
Alhasil, Joko-Gendro pun harus rela menghabiskan malam indah di lokasi wisata Canary dalam ”hotel Prodeo” alias penjara milik pihak keimigrasian. Apa boleh buat, uniknya, hukuman ini tak berlaku bagi Carlos-Santiago yang sama-sama tak memiliki Visa. Agen perjalanan lokal yang telah dikontak PTDI, sama sekali tak kuasa menolongnya. Hukuman serupa juga ditimpakan kepada teknisi PTDI ini pada perhentian berikutnya, yakni di Palma de Mallorca.
”Agen kami di Mallorca sesungguhnya sudah berhasil meyakinkan mereka tentang perlu tidaknya Visa bagi penerbangan Ferry. Hanya pihak keimigrasian disana rupanya tak mau ambil pusing. Bagi mereka, kalau di Canary di penjara, ya di Mallorca juga harus dipenjara, hukuman yang berlaku di kedua jajahan Spanyol ini rupanya tak boleh berbeda,” komentar Joko
Namun demikian, bagi kedua teknisi Indonesia, penjara bukanlah masalah, sejauh tak menyangkut urusan pesawat, mereka masih bisa mentolelirnya. Lepas dari Mallorca, penerbangan praktis tanpa aral sama sekali. Badai Es yang mereka jumpai di atas wilayah Arab juga bukanlah masalah serius. Carlos bahkan pernah mengajak Joko dan Gendro membawa pesawat masuk ke dalam badai, rombongan persisnya singgah di Cairo (Mesir), Abu Dhabi (Uni Emirat Arab), Maldives (kepulauan Maldives di sebelah selatan India), dan Medan (Indonesia).
Tak seperti di Canary dan Mallorca, pihak keimigrasian di Cairo, Abu Dhabi-Maldives praktis sangat bersahabat. Ketiga kota tersebut, termasuk Medan, cukup disinggahi dalam semalam. Joko dan Gendro merasa lega begitu mencapai perbatasan Indonesia. Tak ada yang lebih membahagiakan bagi keduanya selain dari pada bahwa perjalanan tak lama lagi akan selesai.
CN-235 yang kulitnya sudah coreng-moreng itu akhirnya mendarat selamat di Bandara Hussein Sastranegara, Bandung, Sabtu siang, 18 Mei 2002. Sekali lagi, PTDI pasca krismon memang agak alergi dengan acara yang hangar-bingar. Kedatangan para pendekarnya, yang telah menuntaskan perjalanan selama 40 hari itu, cukup disambut sejumlah karyawan PTDI. Di antaranya, ada Direktur ACS, Heru Santoso, dan Hari Subandi, Manager Aircraft Leasing & Asset Management PTDI.
Kepada Angkasa, Secara khusus Hari Subandi mengaku, peristiwa tersebut adalah anugerah besar bagi perusahaanya. Keberhasilanya menuntaskan perjalanan separuh keliling Bumi kian menambah keyakinan bahwa CN-235 adalah pesawat yang tangguh. Setelah “disegarkan kembali”, pesawat ini selanjutnya akan diserahkan ke sebuah operator penerbangan di Asia untuk dijadikan “mesin penghasil uang”. Dari lima unit yang diminta, PTDI baru bisa memenuhi tiga. Pesawat ini akan dibeli dengan system Lease-purchase.
Sumber : http://garudamiliter.blogspot.com/2012/04/penerbangan-edan-venezuela-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar