BARANGKALI hanya Albert Einstein yang pernah menolak diminta menjadi presiden. Begitulah yang terjadi seperti diungkapkan dalam buku karya Fred Jerome yang berjudul Einstein on Israel and Zionism (2009).
Ilmuwan penemu teori relativitas yang lahir pada tanggal 14 Maret 1879 di Ulm, Wüttemberg, Jerman, itu memang Yahudi. Ia berasal dari keluarga pengusaha kecil, kelas menengah berdarah Yahudi-Jerman. Ketika masih kecil, selama beberapa tahun, ia terlibat dalam kegiatan agama, Yudaisme, meski orangtuanya bisa dikatakan tidak beragama. Namun, selepas usia 12 tahun, ia tidak lagi menjalani kehidupan beragama. Ia tidak lagi pergi ke sinagoga.
Enam pekan setelah kelahirannya, keluarganya pindah ke Muenchen. Di kota itulah Einstein sekolah di Luitpold Gymnasium. Kemudian mereka pindah ke Italia dan Albert Einstein melanjutkan sekolah di Aarau, Swiss, dan pada tahun 1896 masuk Sekolah Politeknik Federal Swiss di Zurich. Di sekolah itu ia mengikuti pendidikan guru fisika dan matematika.
Kelak kemudian hari, pada tahun 1914, Albert Einstein menjadi warga negara Jerman dan menetap di Berlin. Tetapi, pada tahun 1933, ia melepaskan kewarganegaraannya karena alasan politik dan beremigrasi ke Amerika dan menjadi orang AS.
Setelah Perang Dunia II, ia menjadi tokoh terkemuka dalam Gerakan Pemerintahan Dunia. Albert Einstein berkolaborasi dengan Chaim Weizmann mendirikan Hebrew University di Jerusalem. Boleh jadi karena darah Yahudi serta eratnya hubungan Einstein dengan Weizmann, dan terkenal sebagai ilmuwan, pada tahun 1952 ia ditawari menjadi presiden Israel setelah kematian Weizmann.
Tetapi, apa jawaban Albert Einstein? ”Saya harus mengatakan kepada rakyat Israel hal-hal yang tidak ingin mereka dengar.” Namun, apakah mereka (rakyat Israel) tahu pernyataan yang dikemukakan oleh PM Israel (ketika itu) Ben Gurion: ”Katakan kepada saya, apa yang akan terjadi jika ia (Albert Einstein) mengatakan ya! Saya harus memberikan jabatan itu kepadanya karena memang harus demikian. Tetapi, jika ia menerima, kita semua akan kesulitan.”
Israel, memang, kemudian tanpa Einstein yang menentang gagasan negara Yahudi. Ia menyarankan dua negara di Palestina dengan hak yang sama dan kekuasaan yang sama bagi orang Arab dan Yahudi.
Lima persoalan Perjalanan konflik antara Palestina dan Israel memang membuat lelah dan bahkan kadang frustrasi. Perang dan perundingan silih berganti mengisi waktu dari tahun ke tahun diselingi pelanggaran hasil perundingan, pelanggaran gencatan senjata entah oleh Israel, entah oleh Palestina.
Persoalan utama tetaplah sama, yakni keamanan, air, Jerusalem, pengungsi, dan perbatasan. Selama lima persoalan tersebut tidak terselesaikan, perdamaian di kawasan itu yang sering disebut sebagai Tanah Suci hanyalah sebuah impian belaka karena tiadanya niat dan kehendak baik untuk mewujudkan perdamaian dari mereka yang terlibat konflik.
Perdamaian juga tidak akan pernah terwujud selama tidak ada saling percaya di antara kedua belah pihak. Bukankah perdamaian berarti kerja sama, persahabatan antarmasyarakat, saling memahami, saling menghormati, saling mengakui keberadaan masing-masing, dan tenggang rasa.
Tanpa semua itu, Tanah Suci tetaplah menjadi mandala perang tidak suci. Dan, damai pun tidak menyinggahinya. Einstein benar, ”perang sudah dimenangkan, tetapi perdamaian tidak”. (Trias Kuncahyono)
Sumber : http://id.news.yahoo.com/kmps/20101223/twl-einstein-dan-mimpi-akan-perdamaian-70701a2.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar