KOMPAS.com - Para ahli telah bersepakat bahwa Pulau Jawa dengan Sumatera dulu menyatu. Bersama Kalimantan, kemudian membentuk dataran yang disebut Sunda Besar. Pemisahan Jawa dan Sumatera diyakini adalah akibat gerakan lempeng Bumi, walaupun tak sedikit yang berpendapat bahwa letusan Gunung Krakatau sebagai penyebab pemisahan ini.
Pendapat yang mendukung pemisahan Jawa dan Sumatera karena letusan Krakatau biasanya mengacu pada Pustaka Raja Purwa, yang ditulis pujangga Jawa, Ronggowarsito, pada tahun 1869. Dalam buku ini dikisahkan, letusan Gunung Kapi—yang belakangan diidentifikasi sebagai Gunung Krakatau—menjadi penyebab pemisahan Pulau Jawa dan Sumatera. Peristiwa ini disebutkan terjadi pada tahun 416 Masehi.
Peneliti dari Los Alamos National Laboratory (New Mexico), Ken Wohletz, termasuk yang mendukung tentang kemungkinan letusan besar Krakatau purba hingga memisahkan Pulau Jawa dan Sumatera. Dia membuat simulasi tentang skenario letusan super. Namun, berbeda dengan Ronggowarsito, Ken menyebutkan, letusan itu kemungkinan terjadi puluhan ribu tahun lalu.
Melalui penanggalan karbon dan radioaktif, para ahli geologi memastikan bahwa Krakatau pernah beberapa kali meletus hebat. "Sepertinya pembentukan Selat Sunda tidak mungkin karena sebuah letusan tunggal besar, seperti ditulis dalam legenda (Pustaka Raja Purwa) itu. Setidaknya ada dua periode letusan besar di Krakatau, tetapi itu sekitar ratusan bahkan ribuan tahun lalu, tidak pada tahun 416 Masehi," sebut Zeilinga de Boer dan Donald Theodore Sannders dalam Volcanoes in Human History, 2002.
Walaupun pencatatan Ronggowarsito tentang waktu letusan masa lalu Krakatau diragukan ketepatannya, pujangga ini barangkali benar soal "pemisahan" Pulau Jawa dengan Sumatera yang berkaitan erat dengan letusan Krakatau. Namun, pemisahan Jawa dan Sumatera sepertinya bukan karena letusan Krakatau. Sebaliknya, Krakatau terbentuk karena pemisahan kedua pulau ini sebagai produk gerakan tektonik di dalam Bumi.
Geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, mengatakan, pemisahan Jawa dan Sumatera terjadi karena gerakan tektonik. ”Pulau Jawa dan Sumatera bergerak dengan kecepatan dan arah yang berbeda akibat tumbukan lempeng Indo-Australia ke Euro-Asia. Perbedaan ini menyebabkan terbukanya celah di dalam Bumi,” kata Indyo.
Sebagaimana Indyo, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono juga meyakini proses tektoniklah yang membentuk Krakatau. Pulau Jawa, menurut Surono, bergerak ke arah timur dengan kecepatan sekitar 5 sentimeter (cm) per tahun, sedangkan Pulau Sumatera bergerak ke arah timur laut dengan kecepatan 7 cm per tahun. Proses ini menyebabkan Pulau Sumatera bergerak ke arah utara dan meninggalkan Pulau Jawa sehingga membuka kerak Bumi di Selat Sunda.
Sejauh ini, Sumatera telah berputar sekitar 40 derajat dibandingkan Jawa. Jelle Zeilinga dan Donald Theodore menyebutkan, separuh dari putaran ini terjadi dalam waktu dua juta tahun. Perputaran ini menyebabkan adanya perenggangan di antara dua pulau, menjadi jalan bagi batu yang meleleh, atau magma, untuk keluar di sepanjang zona rekahan Krakatau, sehingga membentuk tubuh gunung ini dari dasar laut.
Penyaluran energi
Surono mengatakan, letusan gunung api pada prinsipnya terjadi sebagai bentuk penyaluran energi dari bawah Bumi yang dikumpulkan oleh gerakan lempeng Bumi. Selain berupa letusan gunung api, energi ini juga bisa dilepaskan dalam bentuk gempa bumi.
"Letusan gunung api dan gempa bumi biasanya saling mengisi," katanya. Di Sumatera, energi dari gerakan lempeng lebih banyak disalurkan dalam bentuk tingginya intensitas gempa di sepanjang Sesar Besar Sumatera. "Kondisi ini menyebabkan di Sumatera tidak ada lagi letusan gunung api yang berskala besar."
Letusan supervolcano Toba yang mengubah Bumi, terakhir terjadi sekitar 74.000 tahun lalu. "Saat itu, mungkin sesar besar Sumatera kondisinya tidak seaktif sekarang sehingga akumulasi energinya dilepaskan dalam bentuk letusan gunung api Toba," kata Surono.
Sebaliknya, di Pulau Jawa, intensitas gempa darat relatif sedikit dibandingkan Sumatera. Namun, letusan gunung apinya relatif lebih sering. "Energi yang dikumpulkan dari tumbukan lempeng kebanyakan disalurkan dalam bentuk letusan gunung karena sesar darat di Jawa tidak ada yang besar," katanya.
Bagaimana dengan Krakatau yang berada di antara dua sistem geologi Jawa dan Sumatera yang berbeda ini?
Krakatau yang berada di titik engsel antara Pulau Jawa dan Sumatera menjadi unik. Ditambah lagi dengan keberadaan lautan yang mengelilingi pulau gunung api ini, Krakatau menjadi sangat berbahaya. Jika terjadi kebocoran dan air laut menembus ke dalam Bumi hingga mendekati kantong magma yang mendidih, letusan besar bisa terjadi. Padahal, jika terjadi letusan besar, kemungkinan terjadinya tsunami juga sangat tinggi.
Kemunculan kembali Anak Krakatau dari dalam laut pada tahun 1930-an, setelah letusan besar pada Agustus 1883 dan menghancurkan nyaris seluruh tubuh pulau gunung api ini, menandakan aktivitas tektonik yang menyuplai magma terus terjadi. Akankah Anak Krakatau menjadi seperti "ibunya" yang meletus hebat, mengirim tsunami besar sehingga menewaskan lebih dari 36.000 jiwa?
Geolog dan juga penulis buku populer, Simon Winchester (2003), menyebutkan, proses-proses yang mengarah pada kejadian petaka tahun 1883 tidak bisa dihentikan. Selama proses subduksi atau penunjaman lempeng masih terjadi, selama itu pula pasokan energi dan magma ke Krakatau masih akan terus terkumpul.
Masalahnya, kita tidak akan pernah tahu kapan dan seberapa kuat gunung api akan meletus. "Kalau ada alat yang dapat meramalkan letusan gunung api akan saya beli semua. Termasuk penjualnya," Surono berkelakar. "Kita tidak bisa melawan alam. Akan tetapi, yang bisa dilakukan adalah bagaimana kita membangun sistem mitigasi bencana yang kuat dan menyiapkan masyarakat untuk terus waspada," lanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar