KOMPAS.com  - Terdiri dari kepulauan, sebagian di antaranya pulau-pulau gunung api,  menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling rentan terdampak  tsunami vulkanik. Letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tahun  1883, yang memicu tsunami raksasa, menjadi bukti tentang kondisi geologi  Indonesia yang hiperaktif itu. 
 Petaka Krakatau 1883 telah  membuka mata dunia bahwa kombinasi antara letusan gunung api dan tsunami  bisa menjadi ancaman yang sangat mematikan. Tsunami ini merupakan  tsunami vulkanik yang terbesar dan berdampak paling luas yang pernah  tercatat dalam sejarah. 
James E Begét, peneliti dari Alaska  Volcano Observatory (2000), menyebutkan, dalam 250 tahun terakhir telah  terjadi 90 tsunami yang diakibatkan gunung api, dan 25 persen di  antaranya berdampak fatal terhadap kehidupan. Tsunami akibat gunung api  yang tertua yang teridentifikasi terjadi saat letusan Gunung Santorini  di Yunani pada 1638 sebelum Masehi. Kombinasi letusan gunung dan tsunami  ini yang diduga menghancurkan peradaban Kreta. 
Letusan Gunung  Vesuvius di Italia pada tahun 79, yang mengubur Pompeii, juga disusul  gelombang tsunami. Tsunami besar juga terjadi di Jepang, saat Gunung  Unzen meletus pada tahun 1792. Tinggi gelombang yang diduga terjadi  karena longsoran saat Gunung Unzen meletus diperkirakan mencapai 55  meter, dan menewaskan lebih dari 10.000 jiwa. 
Gegar Prasetya,  peneliti dari Amalgamated Solution and Research (ASR), lembaga  penelitian di bidang tsunami dan bencana alam, mengatakan, terdapat 18  gunung api di Indonesia yang berpotensi menimbulkan tsunami jika  meletus. Dari 18 gunung api itu, hanya tiga gunung api yang memiliki  data rinci dan terpantau perkembangannya saat ini. Ketiga gunung itu  adalah Anak Krakatau di Selat Sunda, yang menyebabkan tsunami saat  meletus tahun 1883; Tambora di Sumbawa, saat meletus tahun 1815; dan  Banda Api di Laut Banda. 
Selain tiga gunung itu, beberapa gunung  api yang diduga kuat pernah menyebabkan tsunami di masa lalu, di  antaranya, adalah Rokatinda di Pulau Flores, yang meletus tahun 1928;  Pulau Ruang pada 1889, Pulau Awu pada 1856 dan 1892, Pulau Gamkonora  pada 1673, dan Pulau Gamalama pada 1871. 
Gunung Api Makian di  Halmahera, Karangetan di Sangihe, dan Una-Una di Teluk Tomini juga  diduga kuat pernah menyebabkan tsunami. Selain itu, gu- nung api bawah  laut di sekitar Pulau Weh juga pernah mengirim tsunami hingga ke Banda  Aceh. 
"Pengetahuan kita tentang tsunami yang diakibatkan letusan  gunung api masih sangat sedikit karena kejadiannya sudah sangat lama dan  sedikitnya catatan. Kebanyakan, pengetahuan itu berasal dari sedimen  tsunami," kata Gegar. 
Menurut Gegar, potensi bencana tsunami yang  dipicu letusan gunung api di Indonesia cukup tinggi karena banyaknya  pulau gunung api aktif atau gunung-gunung api yang tubuh gunungnya  berada di lautan. 
Pelajaran Krakatau 
Belajar  dari letusan Krakatau tahun 1883, tsunami yang terjadi menyusul letusan  gunung api bisa lebih mematikan. Tinggi gelombang dan jangkauan tsunami  akibat letusan gunung api juga tak kalah tinggi dibandingkan dengan  jika tsunami disebabkan gempa tektonik. Tsunami Krakatau mencapai  ketinggian 30-40 meter di sepanjang pantai barat Banten dan pantai  selatan Lampung. 
Ahli gunung api dari Pusat Survei Geologi,  Sutikno Bronto, mengatakan, tsunami yang disebabkan letusan Krakatau  tahun 1883 merupakan salah satu yang terbesar yang pernah diperbuat  gunung api, sehingga para ahli berlomba untuk mengkaji penyebab  terjadinya tsunami tersebut. "Mengapa 1883 menimbulkan tsunami dan  banyak korban di Selat Sunda? Mengapa di Katimbang banyak orang  meninggal dan luka bakar?" kata Sutikno. 
Sejauh ini, para ahli  belum bersepakat tentang penyebab munculnya tsunami pascaletusan  Krakatau. ”Setidaknya ada lima hipotesis yang dibuat terkait bagaimana  tsunami itu terjadi,” kata Sutikno. 
Hipotesis pertama, tsunami  tersebut disebabkan oleh runtuhan. Setelah material letusan dilontarkan  ke atas, kemudian jatuh ke bawah. "Jatuhnya material ke laut inilah yang  diduga membentuk tsunami," kata Sutikno. 
Adapun hipotesis kedua  menyebutkan, letusan Krakatau telah menyebabkan terjadinya cekungan di  dalam laut. Air laut masuk mengisi ke dalam kaldera dan kemudian  membalik ke luar menjadi gelombang tsunami. Pendukung teori ini di  antaranya Yokoyama (1981). 
Longsoran gunung api ke arah tertentu  (debris avalanche) merupakan hipotesis ketiga. ”Saat meletus, material  letusan keluar dari samping tubuh gunung sehingga menimbulkan longsoran  yang menyebabkan tsunami,” kata Indyo Pratomo, ahli geologi dari Museum  Geologi Bandung. 
Hipotesis keempat, tsunami Krakatau disebabkan  karena awan panas yang masuk ke bawah laut. Naiknya suhu air laut secara  tiba-tiba akibat limpahan awan panas ini menyebabkan terjadinya  perubahan tekanan sehingga memicu terjadinya gelombang tsunami. 
Hipotesis  kelima juga menyebutkan tsunami Krakatau disebabkan awan panas.  Bedanya, awan panas tidak masuk ke dalam air, tetapi merambat di atas  permukaan air laut. Rambatan awan panas inilah yang memicu gelombang  tsunami. Pendapat ini didukung ahli kelautan dan gunung api dari  Universitas Rhode Island, Amerika Serikat, Haraldur Sigurdsson dan  Steven Carey. 
"Hipotesis ini dikuatkan kesaksian warga Katimbang  yang terbakar awan panas. Awan panas itu merambat di atas air laut,  sambil merambat juga memicu tsunami," kata Sutikno. 
Anak Krakatau 
Walaupun  masih jadi kontroversi, tsunami yang menerjang pasca-letusan Krakatau  telah disepakati sebagai faktor pembunuh terbesar saat gunung ini  meletus pada tahun 1883 dan menewaskan 36.000 jiwa. Melihat dinamika  ini, tsunami merupakan faktor penting yang harus dilihat dalam  memitigasi Anak Krakatau yang saat ini tumbuh cepat dan membentuk tubuh  gunung menyerupai leluhurnya, Krakatau. 
Anak Krakatau tumbuh di  tengah bekas letusan Krakatau, 1883. Pada tahun 2008, diameter Anak  Krakatau telah mencapai 4 kilometer dengan ketinggian 273 meter. Gegar  pernah membuat simulasi letusan dan tsunami dengan skenario runtuhnya  tubuh gunung guna melihat potensi terjadinya tsunami berdasarkan  diameter dan ketinggian gunung saat itu. 
Lewat simulasi itu,  dalam waktu 45 menit sebagian besar gelombang telah mencapai pesisir di  sekitar Selat Sunda dan masuk ke Laut Jawa. Gelombang paling tinggi  sekitar 9 meter menimpa Ujung Kulon. Sementara di sepanjang Anyer,  Carita, dan Labuan, ketinggian gelombang 4 meter hingga 7 meter.  Gelombang pertama yang mencapai lokasi-lokasi tersebut dalam waktu 28-60  menit. Di pesisir Sumatera, ketinggian gelombang 1,5 meter hingga 4  meter dan gelombang pertama yang mencapai pantai dalam waktu 18-66  menit. 
Dalam simulasi itu terlihat betapa ketinggian gelombang  dan waktu tempuhnya, terutama di barat Jawa, berpotensi menghancurkan  dan menelan korban jiwa. Mitigasi terhadap tsunami bagi penduduk di  pesisir pantai sekitar Selat Sunda menjadi keharusan. Apalagi  daerah-daerah tersebut kini padat permukiman dan kegiatan perekonomian  warga. 
Menurut Gegar, dalam sejarahnya, Gunung Krakatau  kemungkinan sudah beberapa kali menimbulkan tsunami saat meletus.  Catatan pujanngga Jawa, Rongowarsito, juga menyebutkan, sekitar tahun  416, Krakatau purba meletus hebat dan mengirim tsunami hingga jauh ke  pedalaman Lampung dan Pulau Jawa.
Sumber : http://sains.kompas.com/read/2011/11/21/08255293/Ancaman.Tsunami.dari.Gunung.Api