Minggu, 14 April 2013

Musibah Lion Air, Akibat Microburst-kah?

Musibah terhempasnya B737-800NG Lion Air, Sabtu (13/4) sore, di perairan tak jauh dari ujung landasan 09 Bandara Ngurah Rai, Bali, mengundang tanda-tanya. Pasalnya, pesawat masih terbilang baru dan secara teknis sangat laik terbang. Pilot juga disebutkan sehat dan layak menerbangkan pesawat. Lalu, bagaimana dengan keadaaan cuaca menjelang pendaratan? Banyak saksi menyebutkan, cuaca saat itu tengah mendung dan langit gelap. Apakah akibat cuaca buruk?

Musibah Lion Air, Akibat Microburst-kah?
Ilustrasi Microburst
Tanpa maksud mempengaruhi investigasi kecelakaan yang tengah dilakukan KNKT, Angkasa mencatat sejumlah kecelakaan dengan indikasi cuaca hampir serupa. Di antaranya adalah jatuhnya B737-200 milik maskapai penerbangan Pakistan pada April 2012 di Bandara Islamabad, Pakistan; DC-9 USAir, Juli 1994, di Bandara Charlotte, AS; L-1011 Delta Air Lines, Agustus 1985 di Bandara Forth Worth, Dallas, AS. Kecelakaan-kecelakaan ini, telah disimpulkan, terjadi akibat fenomena cuaca ekstrem yang dikenal dengan microburst. Tanda-tanda cuaca yang biasa menyertai biasanya adalah: mendung atau berawan, serta hujan tapi tidak deras.

Microburst adalah angin kecepatan tinggi yang turun (downdraft) dari bawah awan kumulus yang berpotensi hujan. Sayangnya, angin kecepatan tinggi ini tak kasat mata, sehingga tak mudah bagi penerbang untuk mengidentifikasi awan mana yang berpotensi menimbulkan microburst. Ketika penelitian tentang microburst ini dilakukan di AS pada 1990-an, fenomena alam ini juga diakui sulit untuk diditeksi karena tak semua awan kumulus bisa menimbulkan microburst. Kalau pun terjadi, downdraft yang ditimbulkan biasanya terjadi dalam waktu singkat dan di areal yang amat terbatas. Secara teknis, hanya peralatan seperti laser-lah yang mampu mendeteksinya.

Microburst bisa menimbulkan angin turun dengan kecepatan lebih dari 100 mill per jam, sehingga bisa menimbulkan kecelakaan fatal bagi pesawat-pesawat yang dihempasnya. Kejadian alam ini uniknya sering menghadang pesawat-pesawat yang tengah bersiap mendarat. Musibah jatuhnya C-4 milik meskapai penerbangan Inggris pada 24 Juni 1956 di Bandara Kano dan B727 PanAm pada 9 Juli 1982 di Bandara New Orleans telah dipastikan (the most-probable cause) oleh otoritas penerbangan AS sebagai akibat dari hempasan microburst. Hingga kini, asal-muasal microburst sendiri masih terus didalami oleh para pakar meteorologi.

Terkait kecelakaan-kecelakaan tersebut, pakar cuaca penerbangan yang dilibatkan dalam penyelidikan, menyebutkan microburst yang “jatuh” di ujung landasan adalah yang paling berbahaya. Angin tolakannya bisa ditafsirkan pilot (yang sedang berupaya mendarat) sebagai headwind yang keras. Pilot yang belum punya pengalaman menghadapi microburst biasanya akan merespon dengan menurunkan kecepatan pesawat. Namun, respon ini justru akan berbuah petaka karena angin tersebut akan berbelok dari arah belakang pesawat (tailwind) yang selanjutnya membuat gaya angkat di sayap utama menurun drastis. Nah, pada saat itu lah, ketika posisinya masuk di bawah jalur downdraft, pesawat dengan sendirinya akan dihempas ke bawah. (Lihat ilustrasi)

Kejadian seperti ini juga mengingatkan publik di wilayah Halim Perdanakusuma, Jakarta, akan musibah pesawat tempur F-16 TNI AU pada tahun 1990-an Pesawat ini jatuh terhempas di ujung landasan ketika sedang berusaha mendarat, menewaskan seorang penerbangnya, Dwi Sasongko. Pada saat itu langit di sekitar wilayah itu juga diketahui sedang berawan tebal dan hujan rintik-rintik.  Apakah kecelakaan B737-800NG juga disebabkan oleh microburst? Kita tunggu saja dulu hasil penyelidikan dari tim KNKT. 

Sumber : Angkasa

2 komentar: