Senin, 05 Mei 2008

Istri Pejabat Sewa Gigolo

SURABAYA, SENIN - Kota Surabaya bukan hanya 'surga' bagi pria hidung belang. Perempuan bergaya hidup bebas juga mencari laki-laki macho. Perempuan-perempuan haus sentuhan pria perkasa ini adalah para pengusaha muda, istri muda atau istri simpanan para pejabat Jakarta yang rela merogoh koceknya Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta sekali kencan.

Maka tak mengherankan jika komunitas pria pemuas nafsu seks yang biasa disebut Gigolo makin menjamur. Selain Surabaya, perselingkuhan dengan wanita-wanita papan atas bermotifkan uang ini juga sudah menjamur di sejumlah kota besar seperti Jakarta, Medan, Semarang, dan Makassar. Bahkan di Jawa Timur, sudah menjalar ke Malang, Kediri, dan Madiun.

Menurut penelusuran Warta Kota pekan lalu, gigolo yang berusaha menarik perhatian usianya berkisar 20-25 tahun terbagi dalam dua kelompok. Pertama yang terorganisir, dan gerakannya diatur germo atau biasa disebut GM, serta yang kedua bergerak mencari targetnya.

Gigolo yang terorganisir lebih rapi dan tertutup, lantaran kliennya adalah pengusaha wanita terkemuka dan dikenal masyarakat. Atau istri-istri muda dan istri simpanan pejabat yang sehari-hari diawasi bodyguard atau pengawal pribadi.

Kelompok gigolo yang bergerak sendiri, biasanya menawarkan diri secara terbuka lewat iklan-iklan di surat kabar. Mereka berusaha menarik perhatian konsumen dengan kalimat vulgar, misalnya: "Wahyu Massa, refleksi cakep dewasa panggilan hubungi 0813320xxxx, atau Jaka Massage, tampan BB face, ramah, macho, big & long servis all in khss panggilan hub 081654xxxxx".

"Pelaku (gigolo) yang menawarkan diri lewat iklan, bisa ditebak konsumennya adalah wanita-wanita kelas ekonomi menengah atas. Dan usianya pasti diatas 50 tahun, ya istilah untuk mereka yang terlambat menopause," cetus Indra, mantan gigolo yang kini menggeluti dunia entertainment di Surabaya.

Meski jaringan gigolo sangat tertutup, tidak jarang mereka nongkrong di satu tempat untuk 'tebar pesona'. Para gigolo biasanya memanfaatkan pusat-pusat keramaian, seperti resto cepat saji di plasa-plasa di pusat kota.

"Tak jarang dari sekadar makan sambil ngobrol berjam-jam di tempat itu, kami dapat target, lalu berlanjut ke hotel," ungkap Deddi, gigolo yang sehari-hari bekerja di sebuah restoran makanan china (chinese food), sambil menyebut dua resto cepat saji di kawasan Jalan Basuki Rahmat dan Jalan Pemuda yang sering dipakai mangkal para gigolo.

Pejabat Jakarta

Meski kebanyakan konsumen gigolo adalah wanita dari luar kota, Deddy mengaku pernah melayani perempuan pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim. Pertemuan dengan wanita tengah baya itu terjadi di sebuah resto cepat saji di sebuah mal.

"Dia habis membeli baju di sebuah gerai di mal tersebut, lalu mampir makan sebelum pulang. saat itulah kami bertatap mata dan saling berkenalan. Usianya sih hampir sama dengan ibu saya, tapi penampilannya sangat menarik dan tubuhnya masih terawat," ungkap lelaki 23 tahun yang masih tercatat sebagai mahasiswa jurusan ekonomi di perguruan tinggi negeri (PTN) di Surabaya itu.

Pertemuan sekilas itu berlanjut. Setelah bertukar nomor ponsel, mereka sering telepon-teleponan layaknya dua insan yang tengah memadu kasih. "Menghadapi wanita seperti ini, memang tak seperti cewek seusia saya, begitu suka langsung berlanjut. Mereka sangat hati-hati sebelum memutuskan mengajak kita ke hubungan yang lebih intim," katanya.

Entah karena kurang puas atas layanan Deddi atau memang ingin menjaga privacy (kerahasiaan), Deddy kini tak pernah lagi ditelepon dan bertemu dengan perempuan pejabat Pemprov tersebut. "Setelah sekali mengajak kencan di hotel mewah, saya masih sempat ketemu dan diajak jalan-jalan selang dua bulan kemudian. Tapi, itu sudah setahun lalu. Mungkin sekarang dia sudah mutasi atau malah pensiun saya nggak tahu," kata Deddy.

Sedangkan pelanggan dari kalangan istri para pejabat, katanya, umumnya mereka adalah istri muda atau istri simpanan. "Kejadian yang terbanyak, pejabat Jakarta menyimpan istri muda mereka di Surabaya atau kota-kota besar lain di Jawa Timur. Tentu istri-istri itu sering kesepian," tambahnya.

Uang lelah yang diberikan para tante atau mbak-mbak genit ini bervariasi. Sebab, tidak setiap pertemuan di kamar hotel berakhir dengan hubungan intim. Jika hanya menemani ngobol, uang taksi (istilah untuk uang jasa bagi gigolo) yang mereka terima biasanya Rp 400.000 sampai Rp 600.000 sekali pertemuan.

Tapi, jika romantisme di kamar mewah, uang taksi meningkat menjadi Rp 1.500.000 hingga Rp 2.000.000. "Sebagai lelaki normal, melihat wajah cantik dan tubuh yang pasti terawat, sering terbersit, nggak dibayar pun saya mau," kata Deddy sambil tertawa.

Tapi, kepuasan memang tak bisa diukur dengan uang. Maka wajar jika wanita-wanita kesepian tak mempersoalkan kalau hanya mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk melepas dahaga mereka.

"Kalau mereka sudah cocok, bahkan tidak segan memenuhi semua keperluan sang lelaki idamannya," kata Deddy.

Tidak Obralan

Prostitusi yang melibatkan laki-laki pekerja seks komersian (PSK) laki-laki atau yang biasa disebut gigolo di sejumlah kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, diakui Bagong Suyanto makin terbuka. Maraknya aktivitas gigolo, menurut Bagong, tidak lepas dari mulai jungkirbaliknya (anomali) nilai-nilai di masyaraat. Apa yang dulu dinilai tabu, kini sudah dianggap biasa.

"Masyarakat di kota besar, kini cenderung tidak lagi peduli ketika tahu pria dan wanita bukan suami istri masuk hotel. Sejauh mereka tidak kenal, dianggap bukan urusan mereka. Dan ini jadi wilayah aman bagi orang-orang yang mau selingkuh," tegas pengamat sosial Universitas Airlangga (Unair).

Hanya saja, perempuan yang main lelaki, masih dipandang biasa di masyarakat. Mereka umumnya cenderung lebih persimif dan menilai biasa kaum pria 'jajan'. Tapi, penilaian serupa tidak berlaku untuk perempuan yang mengencani gigolo. Karena itu, kata Bagong, cara kerja gigolo terancang lebih rapi dan tertutup, tidak obralan.

"Tante-tante atau mbak-mbak pencari kepuasan dari gigolo cenderung lebih hati-hati dalam menyampaikan keinginannya. Sebab, penyelewengan oleh perempuan mudah jadi sorotan masyarakat ketimbang pria," kata Bagong yang banyak melakukan penelitian tentang masalah-masalah sosial-kemasyarakatan. (tat/sry)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar